Rabu, 18 Februari 2009

1.000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa





1.000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa

1.000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (1)
Kenang dengan Lukisan

DEA, Yudit, dan Septia mungkin belum pernah membaca roman setebal ratusan halaman. Jangankan membaca, melihat dan memegangnya pun mungkin belum. Tapi saat dia diminta unntuk melukis sosok yang dikenalkan sebagai Pramudya Ananta Toer, mereka bersemangat.
Begitu juga dengan beberapa murid SD lainnya yang berminat untuk berperan dalam pameran sketsa wajah Pram. Tak soal apakah gambar para bocah itu mirip atau tidak dengan aslinya. Mereka hanya ingin mengenang seseorang yang lahir di rumah yang kadang jadi tempat mereka bermain dan pernah bersekolah di tempat mereka sekolah sekarang.
Pameran seketsa wajah Pram yang berlangsung di "Omah Demit" (sebutan untuk rumah keluarga Toer di era Orba, tempat Pram menghabiskan masa kecil) memang menampilkan beberapa karya pelajar SD terutama dari SD Jetis seperti mereka. Selain itu ada juga pelajar SMP dan SMK, termasuk keponakan Pram, Wahyu Putra.
Pameran sketsa wajah Pram menjadi salah satu bagian dari peringatan 1.000 hari wafatnya Pram yang diadakan satu minggu penuh (1-7/2). Selain para pelajar, beberapa pelukis dari berbagai daerah juga turut menyumbangkan goresannya. Ipin dari Rembang misalnya, menampilkan wajah Pram dengan mulut dibekap kain. Sketsa itu seolah menggambarkan kehidupan Pram yang hampir selalu ditindas penguasa.
Selain sketsa wajah, ada juga sketsa Fragmen Pulau Buru oleh Gumelar. Rangkaian gambar itu menjelaskan mulai dari penangkapan Pram oleh aparat, kehidupan Pram selama dibuang, hingga akhirnya dibebaskan.

Melukis Bersama
Yang menjadi puncak dari pameran tersebut, yakni acara melukis langsung oleh beberapa seniman dan budayawan, serta khalayak yang ingin. Menyebut beberapa nama yang terlibat dalam acara yang berlangsung Sabtu (7/2) lalu yakni Joko Pekik, Sindhunata, serta Samuel Indratma. Selama mereka melukis, cucu Pram, Aditya, tampil di atas panggung menyanyikan beberapa lagu seperti Anak Tumpah Darah karya Pram dan Lagu buat Pram karya Eros Djarot.
Lantas, apa yang digambar Pekik saat itu? Bukan, bukan celeng dan bukan pula wajah Pram seperti yang lain. Dia justru menggambar dua sosok manusia setengah badan dengan latar belakang lautan orang. Selain itu, tampak pula bendera merah putih di sisi kanan gambar. Kedua sosok itu jelas merupakan personifikasi buruh dan tani. Hal itu terlihat dari alat yang mereka genggam masing-masing.
Lewat garis dan warna, terlihat ada upaya reaktualisasi dan atau pengingatan kembali terhadap apa yang dicitakan Pram. Tapi, bukan hanya itu. Masih ada yang lain dari pagelaran yang berlangsung di Jalan Sumbawa tersebut. (Bersambung- Adhitia Armitrianto)

1.000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (2)
Lewat Kata, Pram Terasa Lebih Dekat

"Bintang Mahaputera untuk Pramoedya Ananta Toer akan menjadi bukti bahwa Indonesia memang bangsa berbudaya tinggi dan punya pemerintahan yang berbudi luhur"

DEMIKIAN pungkas Eka Budianta pada tulisannya yang bertajuk Seribu Bulan Seribu Hati Pramoedya. Tulisan itu diterbitkan bersama 78 tulisan lain dalam buku bertajuk 1.000 Wajah Pram dalam Sketsa dan Tulisan. Buku itu diterbitkan oleh Lentera Dipantara yang dikelola oleh anak sulung Pram Astuti Ananta Toer.
Eka menegaskan betapa sedikitnya penghargaan untuk sosok Pram yang diberikan oleh negeri ini. Bahkan, saat diberi penghargaan dari luar negeri, justru yang muncul adalah penentangan dari beberapa pihak (yang berseberangan dengannya). Meski Pram sendiri sebenarnya tak menyoal itu semua. Dia menulis bukan untuk meraih penghargaan.
Selain esai, buku itu juga diisi dengan puisi dari beberapa penyair serta tulisan wawancara dengan Pram semasa hidup. Sebagian darinya ada yang berbahasa Inggris pula. Penulisnya juga beragam, mulai dari budayawan Goenawan Mohammad hingga salah satu cucu Pram Vicky.
Simak tulisan Vicky yang menceritakan dirinya saat bermain dengan sepupunya, Rova. Vicky yang menggenggam pedang-pedangan bergaya bak pendekar, terus menyerang Rova yang tak memegang apa-apa. Mengetahui hal itu, Pram diceritakan langsung bertindak.
Di depan mata Vicky, dia patahkan pedang-pedangan itu. Kontan, Vicky menangis sejadinya.
Tapi, sesuai dengan tulisannya di buku tersebut, setelah beranjak dewasa Vicky mulai menyadari bahwa Opa sangat tidak menyukai kekerasan.
"Kekerasan itu tidak dapat membawa kita dalam kedamaian, kekerasan hanya dapat membuat kita jatuh ke dalam sebuah kehancuran."
Lewat buku yang diluncurkan pada acara yang bertajuk sama tersebut, kita juga bisa semakin mengenal sosok Pram. Kita bisa mengetahui sikapnya yang selama ini dikenal seperti keras, idealis, sekaligus humanis dan juga sifatnya yang selama ini mungkin belum terungkap. Untuk yang satu itu, tulisan salah satu adik Pram, Soesilo Toer layak disimak.
Soesilo dalam tulisannya yang memakan paling banyak halaman itu menceritakan pribadi Pram yang belum banyak dibicarakan, seperti betapa teramat sayangnya dia terhadap keluarga. Meski dikenal tegas dan keras, Pram ternyata juga sangat melankolis.
Saat masih kecil, Soesilo mengaku pernah kena tampar oleh kakaknya itu dan tak boleh bermain lagi karena menabrak anak kecil dengan sepeda. Soesilo kemudian diperintahkan untuk masuk kamar dan tidur. Tapi, di tengah tidurnya dia kemudian dibangunkan untuk diajak pergi ke restoran, cari makan.
"Ketika berangkat naik becak, aku dipangku dielus-elus dan diciuminya. Ia lakukan itu sambil mbrebes mili. Orang segagah itu cengeng!"
Bersamaan dengan buku tersebut, diluncurkan pula buku Bersama Mas Pram karya Koesalah dan Soesilo Toer terbitan KPG. Acara peluncuran ditandai dengan penyerahan buku pada beberapa tokoh yang datang. Sayangnya, tak semua pihak bisa memperingati wafatnya Pram kemarin. (Adhitia Armitrianto-Bersambung)

- 1.000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (3-Habis)

"Pram Milik Semua"

SAMBIL terharu, anak pertama Pram, Astuti Ananta Toer, mengatakan jika saat ini Pram bukan lagi miliknya atau keluarganya.
"Melihat acara ini, saya baru sadar jika Pram bukan hanya milik saya dan keluarga, tapi milik semua. Milik anak-anak muda yang menyelenggarakan acara ini, teman-teman Pram yang datang, dan juga semua masyarakat yang terlibat," ujarnya.
Ucapan Astuti sangat benar adanya. Acara 1.000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa yang dilangsungkan minggu lalu memang melibatkan banyak pihak. Mereka berasal dari berbagai komunitas baik itu dari Blora maupun daerah lain seperti Rembang, Pati, Kudus, Semarang, dan Jogja. Rekan-rekan Pram di masa lalu juga terlihat hadir.
Dalang Tristuti Rachmadi merupakan salah satunya. Dia yang pernah hidup bersama Pram di pembuangan Pulau Buru tersebut, ikut bersama rombongan Joko Pekik dari Yogyakarta. Bersamanya ada juga budayawan Sindhunata.
Tristuti sendiri mempersembahkan kebolehannya dalam mendalang untuk menghormati Pram. Meski, dia memahami benar bahwa semasa hidup, Pram tak begitu menyukai wayang.
"Tapi isaku mung ndalang. Jadi lewat inilah saya menghormati dia," ujarnya yang menutup acara dengan membawakan lakon Begawan Ciptaning Sabtu (7/2) malam lalu.
Kedatangan rekan-rekan Pram itu mungkin tak banyak timbulkan tanya. Tapi anak-anak muda yang berduyun-duyun ke rumah keluarga Toer di Jalan Sumbawa 40, bahkan rela menginap selama beberapa malam jelas bukan kebiasaan. Sosok Pram seolah menjadi ikon baru dalam dunia mereka.
Bisa jadi, dalam beberapa waktu ke depan bukan wajah Che Guevara atau gambar grup band The Doors di kaos yang mereka kenakan. Mungkin saja, saat itu gambar dan tulisan Pram yang bakal hadir.
Koordinator I Komunitas Pasang Surut Blora Eko Arifianto mengatakan, lewat acara tersebut pihaknya ingin mengajak setiap orang merenungkan kembali tentang bumi dan manusia dengan beragam persoalannya. Pihaknya juga bermaksud membumikan pemikiran sang sastrawan.
Sayangnya, ternyata tidak semuanya bisa terlibat. Salah seorang panitia dari atas panggung mengatakan, para pelajar dari SMA 1 Randublatung tak bisa tampil seperti yang dijadwalkan. Alasannya, mereka dilarang oleh guru dan kepala sekolah. Ah, di era reformasi ini, masih saja ada larang-melarang. (Adhitia Armitrianto- Habis)

Senin, 19 Januari 2009

Duka Buruh PR Jambu Bol (2-Habis)

Lain Dulu dengan Sekarang

LUKISAN yang tergantung di dinding salah satu kantor PR Jambu Bol menjadi salah satu bukti kejayaan pabrik tersebut. Lukisan dengan aneka warna cerah itu menggambarkan suasana di sekitar pabrik yang berada di Desa Ngembalrejo, Kecamatan Bae. Ada sebuah truk kotak yang mengangkut bungkusan rokok, ada pula mobil yang sedang melaju.Sementara itu, beberapa buruh dengan muka ceria juga terlihat sedang berjalan di sekitar pabrik itu. Di sekitarnya, beberapa pedagang pasar tiban juga terlihat menggelar dagangan. Suasana yang riuh dari sebuah pabrik yang hidup tertangkap dari lukisan itu.Entah siapa yang melukisnya. Yang pasti, gambaran dari lukisan itu jauh dari kondisi sekarang yang sepi dan hampir tak ada kegiatan sama sekali. Tak ada lagi, wajah buruh yang ceria.Masa kejayaan itu sendiri dikisahkan berlangsung di tahun 80-90 an. Bahkan, hingga 2000 awal, masa itu masih sempat menghinggapi pabrik tersebut. Pemasaran terbesar dari rokok yang dihasilkan pabrik itu konon berada di Pulau Sumatera. Salah seorang kolega di sebuah pabrik rokok menggambarkan jika dulu, sementara pabrik rokok lain masih mengirim komoditinya dengan menggunakan mobil, maka Jambu Bol telah mengirim rokok menggunakan puluhan truk besar.Masa kejayaan itu juga diingat dalam benak para buruh. Seorang buruh perempuan di Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo mengatakan, saat itu menjadi buruh di PR Jambu Bol menjadi idaman hampir setiap remaja di kalangan menengah ke bawah."Zaman dulu para remaja belum begitu mementingkan sekolah. Kami yang sebagian besar lulusan SD setelah lulus hanya ingin menjadi buruh Jambu Bol. Ada kebanggaan tersendiri bila kerja di sana," ujarnya.Sementara buruh lain yang berasal dari Desa Bae, Kecamatan Bae mengatakan dulu satu orang buruh bisa mendapat pekerjaan membuat rokok hingga 9.000 batang per hari. Bahkan, jika ada yang memapu melakukannya dalam satu bulan penuh, maka akan diberi bonus."Saya sendiri pernah dapat bonus itu tiga kali berturut-turut. Lumayan juga jumlahnya," kenang perempuan yang mampu menyekolahkan anaknya hingga mendapat gelar sarjana dari mata pencahariaan itu.Namun, kondisi tersebut jauh berbalik dengan sekarang. Saat masih diminta bekerja beberapa waktu lalu, dirinya mengaku hanya diminta membuat seribu batang rokok saja. Tentu saja, pendapatan yang diraihnya jauh berkurang.Ya, hidup memang bagai roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Tapi semestinya, kehidupan itu harus dijalani tanpa harus mengorbankan orang lain. @