Minggu, 30 November 2008

Sewu Kupat Colo

Sewu Kupat merupakan acara yang diusung guna memperingati Bada Kupat (diadakan seminggu setelah Idul Fitri). Kegiatan itu telah berlangsung selama dua tahun berturut-turut di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, yang berada di lereng Gunung Muria. Berikut cuplikan kegiatan itu tahun ini.












Kamis, 27 November 2008

Di Perempatan Metro

“Meludahlah, Tuan, Nyonya, meludahlah!”, anak-anak kecil mengiba kepada pengendara kendaraan bermotor, baik itu roda dua maupun empat. Juga kepada penumpang di atas bus kota.
“Meludahlah, Tuan, Nyonya, meludahlah!”, ujar mereka berulang kali.
“Bagaimana kalau kuberi saja kau lima ratus rupiah”, tawar seorang penumpang mobil merah.
Sang anak menjawab, “Tidak perlu, Tuan. Kami hanya perlu ludah tuan. Tak perlu uang. Meludahlah. Meludahlah di aspal yang kami pijak tanpa alas kaki!”.
“Lalu akan kau ke manakan air ludahku nanti?”, seorang ibu yang berada di taksi bertanya seolah perduli.
“Tak perlu kecewa, Bu. Ludah ibu akan kami rajut menjadi benang, untuk terbangkan layang-layang!”.
Ya, di perempatan metro, memang banyak anak-anak kecil yang suka bermain layang-layang. Namun siapa sangka bahwa benang yang mereka pakai untuk menerbangkan layang-layang itu berasal dari rajutan ludah para pengguna jalan. Ludah-ludah yang tergenang di atas aspal, entah bagaimana itu bisa terjadi, setelah mereka sentuh langsung berubah menjadi helaian tipis benang. Namun jangan berpikir itu semudah menginjak pedal gas ataupun rem, karena ternyata hanya anak-anak jalanan saja yang mampu merubahnya dalam wujud benang. Pernah mencoba seorang pengendara sepeda motor roda dua. Ia sentuh genangan ludah yang kebetulan terletak di sebelah kaki kirinya. Alih-alih mendapat segulung benang, justru tertawaan dari para pengendara lain yang ia dapatkan karena jari-jemari tangannya kini berlumuran air ludah.
“Ha.. ha.. dasar orang bodoh!”, kata pengemudi angkot.
“Ayo Tuan, meludah lagi! Ayo!”, suara seorang bocah menyemangati seorang baya kembali terdengar lantang memelas.
“Ya, ayo Tuan. Lagi! Lagi! Biar layang-layang kami tambah tinggi!”, seorang bocah perempuan yang lebih muda ikut memeriahkan suasana.
Sedangkan si pria yang berada di dalam mobil hitam ceper mengkilat kian bersemangat. Ia menurunkan kaca jendela, sehingga sebagian tubuhnya bisa menjulur keluar. Dan tanpa ampun, ia keluarkan ludahnya berulang kali, menerpa aspal yang memantulkan panas matahari. Bahkan ketika lampu merah telah berganti hijau ia masih meludah sambil jalankan mobilnya. Maka terbentuklah aliran ludah terpanjang, yang terbentang dari Jl. Sriwijaya hingga Lamper Sari. Anak-anak berteriak gembira.
Mereka berlari mengikuti aliran ludah tersebut. Namun, ketika tiba di tengah-tengah perempatan, seorang bocah berhenti sambil memandang ke arah utara Jalan MT Haryono. “Hey kawan-kawan, lihat! Kita dapat rejeki!”, bocah yang berkaos kuning tersebut berteriak. Dan sambil menunjuk aspalan tepat di depan toko listrik, ia melanjutkan teriakannya, “Lihat! Hari ini kita bisa makan daging!”. “Hore.. hore..!”, yang lain ikut berteriak gembira. Bergegas mereka bersama menuju ke sana, tak peduli lalu lalang mobil, motor, bus kota, apalagi truk barang yang kerap berhenti di depan pos polisi.
Di depan toko listrik itu, memang tergeletak sebuah daging. Tepatnya, sebuah tikus besar dengan isi tubuh terburai ke aspal. Sebuah motor telah menggilas ketika ia, tikus itu, bermaksud menyeberang jalan malam tadi. Pada kulitnya yang berwarna gelap keabu-abuan masih tampak bekas garis-garis hitam bunga ban motor. Dan sebelum bocah-bocah kecil penghuni perempatan metro tiba, sebuah mobil patroli pamong praja kembali menggilas tubuh sang tikus. Semakin terburailah usus-usus berwarna merah, sedang darah yang membeku karena dingin semalam menjadi cair kembali, muncrat ke sekeliling bangkai. Dan ternyata semakin riang bocah-bocah itu berlarian. “Hore..hore.. dagingnya tambah banyak!”. Bocah-bocah itu segera berebutan mendapatkan tikus yang kini menjadi potongan daging kecil-kecil. Mereka bergerak dengan cepat sekali, sehingga jalanan hanya sempat macet beberapa saat saja. Toh, polisi-polisi di pos perempatan masih disibukkan dengan kedatangan kenek truk barang. Sementara bocah-bocah, sebentar kemudian sudah tampak lahap memakan daging tikus yang mereka boyong ke taman di tengah awalan Jalan Sriwijaya.
Namun, di antara mereka ada satu bocah yang tampak enggan memakan daging yang berhasil ia raih. Ia hanya memegang erat daging yang masih basah oleh aliran merah darah dan sibuk berjalan ke sana kemari. “Kenapa kau tak segera memakannya?”, tegur bocah berkaus salah satu parpol sambil membersihkan sekitar mulutnya dari sisa-sisa makanan. Tak lupa ia lepaskan daging yang masih melilit di antara gigi-gigi kuningnya dan dengan sekali teguk, tandaslah sisa-sisa daging itu ke dalam kerongkongan untuk meluncur menuju lambung. “Tidak!”, jawab bocah itu, “Aku masih kenyang dengan makanan kemarin!”, dengan tenangnya bocah itu menyeberang jalan menuju tong sampah di pinggir trotoar. “Ah ini dia!” ucapnya dalam hati.
“Kalau begitu, buat kami saja!” bocah berambut merah ikut berbicara dengan berteriak. Tampaknya sedari tadi ia ikut mengamati pula. Bocah, di seberang jalan, yang baru saja meraih kantong plastik dan meloloskannya dari sampah-sampah yang ada di dalamnya diam sejenak. “Sebetulnya aku mau membawanya pulang, untuk emak..” teriaknya. “Tapi kalau kalian masih lapar, ya sudah. Ini! Tangkap!”, dengan ringan ia melemparkan daging berwarna merah darah dari genggaman tangannya melewati ruas jalan, di atas mobil-mobil dan bus kota yang berhenti karena lampu merah, yang derunya telah menenggelamkan suara anak-anak itu. Di taman seberang, bocah-bocah yang lain berteriak gembira. “Hore! Hore!”. Semua sibuk berebutan daging tikus di atas rumput-rumput taman. Lupa pada mobil, motor, juga layang-layang yang sudah diterbangkan angin entah ke mana.
***

Malampun tiba.
Semua bocah tampak duduk berjejer. Tidak pernah tahu dengan pasti, apakah mereka kekenyangan karena daging siang tadi, atau kelelahan akibat bermain seharian penuh. Mereka hanya duduk dengan kepala tegak dan mata memandang jauh melewati lampu-lampu kendaraan bermotor yang silih ganti berhenti berjalan. Sejauh-jauh mata memandang, tertatap pula pada mal ataupun pasaraya. Mereka hanya sekawanan kecil di ruas jalan yang besar.
“Akankah malam ini hujan?”, seorang bertanya.
“Aku mau bermain layang-layang lagi!”, seorang yang lain berkata.
“Mak, aku takut pulang. Malam bertambah gelap!”, bocah lainnya menggumam.
Mendung perlahan datang menyelimuti langit malam. Mungkin juga, menyelimuti bocah-bocah yang satu demi satu berbaring tidur di trotoar. Di pinggir jalan. Di perempatan metro. @

Semarang, 2007

Menelisik Batik Pekalongan











Slank benar, Kota Batik (memang) di Pekalongan. Bukan di kota lain. Banyak warga di sana yang kehidupannya bergantung pada kerajinan tersebut.Di beberapa desa, hampir setiap rumah membuka usaha batik. Sentra penjualan batik juga tersebar di beberapa tempat. Membatik seolah menjadi denyut nadi kota itu.Dan denyut itu tak pernah berhenti. Dari pagi hinggga malam, berlanjut hingga pagi kembali. Mulai dari menulis, cap, mewarnai, mengeringkan, hingga menjual. Bahkan, sebuah museum juga didirikan di tengah kota. Di sana, beragam koleksi serta data bisa dipelajari. Termasuk belajar membatik bagi yang ingin.Perajin Pekalongan juga mempunyai jasa yang cukup besar terhadap perkembangan batik di kota lain. Mereka kerap mengadakan workshop untuk perajin luar kota. Di situ, ilmu dan keterampilan yang dipunya dibagikan.Meski demikian, hendaknya jangan dilupa dampak yang timbul. Pencemaran air yang mengakibatkan sungai serupa pelangi harus dicegah. Kerusakan lingkungan yang bisa menimbulkan sakit bagi manusia sendiri sudah semestinya diakhiri. @

Jumat, 21 November 2008

Tuhan Jalan-jalan

Tuhan sampai di persimpangan
Berhenti karena lampu merah
Jalan saat lampu hijau

Mau jalan-jalan ke mana?


2008

Rabu, 19 November 2008

Miauw


Yah, ini cerita yang agak menyedihkan..
Tentang kucing di kontrakan (tapi bukan kucingku), tepatnya di kamarku.
Awal minggu ini, setelah balik dari Semarang tiba-tiba aku mendapati dua kucing di kamar kontrakan. Mereka dengan tenang tidur di rak buku pagi itu. Yang satu di bagian tengah, yang satunya di bagian bawah. Agaknya, mereka tertidur sedari malam.
Aku terus terang, ga begitu suka kucing. Tapi juga ga benci. Makanya, kubiarkan saja mereka di sana. Terus aku pergi ke tempat kerja.
Siangnya, pas balik lagi ke kamar, sekilas mereka telah tiada. Tapi sesaat setelah rehat sejenak di kursi, sayup-sayup (wuih kayak sastrawan ga sih) terdengar suara. "Miauw..miauw..," begitulah bunyinya.
Sumber bunyi, sepertinya dari rak buku. Segera saja aku liatin itu rak. Dan, apa yang terjadi?
Tak kuduga. Kalo tadi ada dua kucing besar, sekarang yang ada justru dua kucing kecil. Item-item lagi.
Kucingnya mengecil?
Ha.. Gak lah.. Ternyata salah satu kucing besar itu melahirkan dua kucing kecil. Di kamarku! Ceceran darah di lantai masih membekas.
Baru sekali ini aku berhadapan dengan situasi seperti itu (ha.ha.. segitunya..). Bingung, kutelpon bapak aku. Dia bilang, pindahin aja. Tapi jangan di tempat terbuka, ntar kedinginan.
OK lah. Aku turuti saran itu. Dua kucing itu aku taruh di kardus beralas kain. Terus kupindahkan mereka di garasi.
Malamnya, satu kucing besar (mungkin ibunya) datang ke kamarku (nyelonong aja ni). Dia mengeong, seperti mencari anaknya. Aku bilang, tu dah di garasi. Seolah memahami, sang ibu itu langsung berjalan ke garasi.
Aku pikir, masalah selesai..
Sampai esoknya, kucing itu lagi-lagi nyelonong ke kamarku. Dia melongok ke rak buku, trus jalan keliling kamar sebentar, trus akhirnya keluar. Tepat di depan pintu, ibu kucing berhenti. Ngeong lagi beberapa kali. Lalu jalan ke garasi, Ngeong lagi. Beberapa kali.
Ternyata, anaknya hilang.
Ya, penasaran mengapa dia cerewet terus malam itu. Aku coba nyusul dia di garasi. Ternyata, kucing-kucing kecil yang tadinya ada di sana sekarang ga ada.
Jadilah, aku hidup dengan penyesalan. Sampe tulisan ini dibuat, ibu kucing yang besar itu masih selalu menghampiri kamarku. Ngeong beberapa kali mencari anaknya. Terus berjalan ke garasi. Ngeong lagi berkali-kali. Berulang-ulang..
Maap ya kucing.. @

November

NB: Belakangan diketahui, kucing kecil yang baru lahir dipindahin temen kontrakanku ke tempat lain. He.. Kasihan ibu kucing.. Coba cari di tempat lain ya.. Temenku sendiri bilangnya diletakkan di depan rumah.

Sabtu, 15 November 2008

Oleh-oleh dari Solo

Beberapa waktu lalu, Solo ketempatan WHCC (singkatannya cari sendiri aja ya..). Kebetulan saya di sana.
Nah, berikut beberapa fotonya. Enjoy!



- Motif batik Solo


- Workshop ibu dan anak


- Wow!



- (Katanya) Putri Indonesia
(Terus terang saya ga tahu. Jadi maaf kalo ternyata beneran..)












- Haus ya, Bang!



PS: Sorry guys, aku bolos terus ya..

Rabu, 12 November 2008

Puisi Tak


ingin seperti puisi
bisa lari ke mana-mana
ke kota kegelapan
ke negeri matahari
atau juga ke awan yang tebal

ingin seperti puisi
bisa merajuk pujaan
atau juga minta ampunan

tapi puisi
tak pernah hancurkan
rezim otoritarian

puisi
hanya

untukmu

sayang


2008

Kopi Muria


JARANG orang membicarakan kopi dari Gunung Muria. Padahal puluhan hektar kebunnya ada di beberapa desa lereng gunung itu seperti Colo dan Japan. Masyarakat di Kudus lebih sering menyebut kopi dari daerah lain, seperti Jetak, Kecamatan Kaliwungu misalnya.
Kenikmatan kopi Muria tak jauh dibanding dengan yang lain. Setidaknya, itulah kata Muhdi Asnawi (40), pengusaha kopi asal Desa Padurenan, Kecamatan Gebog. Sepuluh tahun sudah dia menekuni usaha kopi dengan bahan mentah dari Colo.
"Awalnya coba-coba saja. Saya dengar kopi muria digemari orang-orang. Maka saya coba ambil dan mengolah di rumah," jelas Muhdi saat ditemui di kediamannya kemarin.
Menurutnya, masa panen kopi berlangsung Agustus-November. Pada masa itu, dia biasa berburu ke Colo. Berkilo kopi biasa dia borong. Meski demikian, kopi tersebut tidak langsung diolah.
"Seperti tembakau, kopi juga sebaiknya ditimbun dulu. Kurang lebih satu hingga dua tahun agar rasanya lebih mantap," ujarnya.
Selain itu, dia mengaku mengolah kopi dengan bahan bakar kayu. Pilihan itu menurutnya juga memengaruhi rasa kopi itu nanti.Setelah diolah dia memasarkannya ke beberapa tempat. Pada awalnya, Muhdi mengaku kesulitan mendapatkan tempat. Namun, perlahan-lahan kopinya mulai disukai. Hampir semua warung di kecamatan tempat dia tinggal memakai kopi hasil olahannya.Meski demikian, tak banyak yang tahu bahwa kopinya berasal dari Muria. Orang-orang lebih sering menyebut kopi Muhdi.
"Memang dalam pemasaran saya tak memakai merk khusus. Saya biarkan polos aja. Kalau orang lain mau mengemas ulang silakan," tambahnya.
Bahkan, dia mengatakan ada pedagang kopi Jetak yang memakai kopinya. Hanya saja, dalam pemasarannya dia menggunakan nama kopi Jetak.Saat ini, Muhdi telah mempunyai empat pekerja. Dalam sebulan, omzetnya mencapai jutaan rupiah. Meski demikian, Muhdi masih berharap agar harga kopi bisa diturunkan."Saat ini harga kopi masih terhitung mahal. Satu kilogramnya hampir mencapai Rp 20.000. Kalau bisa turun, saya yakin usaha saya bisa lebih berkembang," harapnya.
Akhir Oktober lalu, dia memamerkan produknya di lapangan desa bersama hasil industri kecil lainnya asli Padurenan. Hampir semua orang yang sempat mencicipi kopi Muria mengakui rasanya tak kalah nikmat dibanding kopi bermerk lainnya. @

Selasa, 11 November 2008

Tukang Sihir


Tetangga rumah yang pertama kali memberitahu. Dia mengaku tahu silsilah keluarga istriku. Mereka yang di ujung barat kota telah dikenal sebagai penyihir selama belasan tahun.
Dulu mereka biasa berpesta di malam purnama. Konon, siapa saja yang lewat di depan rumah saat berpesta pasti akan lenyap. Banyak keluarga sudah yang melaporkan kehilangan anggotanya. Tapi tak ada bukti yang mengarah pada keluarga itu.

Selengkapnya tentang tukang sihir