Kamis, 27 November 2008

Di Perempatan Metro

“Meludahlah, Tuan, Nyonya, meludahlah!”, anak-anak kecil mengiba kepada pengendara kendaraan bermotor, baik itu roda dua maupun empat. Juga kepada penumpang di atas bus kota.
“Meludahlah, Tuan, Nyonya, meludahlah!”, ujar mereka berulang kali.
“Bagaimana kalau kuberi saja kau lima ratus rupiah”, tawar seorang penumpang mobil merah.
Sang anak menjawab, “Tidak perlu, Tuan. Kami hanya perlu ludah tuan. Tak perlu uang. Meludahlah. Meludahlah di aspal yang kami pijak tanpa alas kaki!”.
“Lalu akan kau ke manakan air ludahku nanti?”, seorang ibu yang berada di taksi bertanya seolah perduli.
“Tak perlu kecewa, Bu. Ludah ibu akan kami rajut menjadi benang, untuk terbangkan layang-layang!”.
Ya, di perempatan metro, memang banyak anak-anak kecil yang suka bermain layang-layang. Namun siapa sangka bahwa benang yang mereka pakai untuk menerbangkan layang-layang itu berasal dari rajutan ludah para pengguna jalan. Ludah-ludah yang tergenang di atas aspal, entah bagaimana itu bisa terjadi, setelah mereka sentuh langsung berubah menjadi helaian tipis benang. Namun jangan berpikir itu semudah menginjak pedal gas ataupun rem, karena ternyata hanya anak-anak jalanan saja yang mampu merubahnya dalam wujud benang. Pernah mencoba seorang pengendara sepeda motor roda dua. Ia sentuh genangan ludah yang kebetulan terletak di sebelah kaki kirinya. Alih-alih mendapat segulung benang, justru tertawaan dari para pengendara lain yang ia dapatkan karena jari-jemari tangannya kini berlumuran air ludah.
“Ha.. ha.. dasar orang bodoh!”, kata pengemudi angkot.
“Ayo Tuan, meludah lagi! Ayo!”, suara seorang bocah menyemangati seorang baya kembali terdengar lantang memelas.
“Ya, ayo Tuan. Lagi! Lagi! Biar layang-layang kami tambah tinggi!”, seorang bocah perempuan yang lebih muda ikut memeriahkan suasana.
Sedangkan si pria yang berada di dalam mobil hitam ceper mengkilat kian bersemangat. Ia menurunkan kaca jendela, sehingga sebagian tubuhnya bisa menjulur keluar. Dan tanpa ampun, ia keluarkan ludahnya berulang kali, menerpa aspal yang memantulkan panas matahari. Bahkan ketika lampu merah telah berganti hijau ia masih meludah sambil jalankan mobilnya. Maka terbentuklah aliran ludah terpanjang, yang terbentang dari Jl. Sriwijaya hingga Lamper Sari. Anak-anak berteriak gembira.
Mereka berlari mengikuti aliran ludah tersebut. Namun, ketika tiba di tengah-tengah perempatan, seorang bocah berhenti sambil memandang ke arah utara Jalan MT Haryono. “Hey kawan-kawan, lihat! Kita dapat rejeki!”, bocah yang berkaos kuning tersebut berteriak. Dan sambil menunjuk aspalan tepat di depan toko listrik, ia melanjutkan teriakannya, “Lihat! Hari ini kita bisa makan daging!”. “Hore.. hore..!”, yang lain ikut berteriak gembira. Bergegas mereka bersama menuju ke sana, tak peduli lalu lalang mobil, motor, bus kota, apalagi truk barang yang kerap berhenti di depan pos polisi.
Di depan toko listrik itu, memang tergeletak sebuah daging. Tepatnya, sebuah tikus besar dengan isi tubuh terburai ke aspal. Sebuah motor telah menggilas ketika ia, tikus itu, bermaksud menyeberang jalan malam tadi. Pada kulitnya yang berwarna gelap keabu-abuan masih tampak bekas garis-garis hitam bunga ban motor. Dan sebelum bocah-bocah kecil penghuni perempatan metro tiba, sebuah mobil patroli pamong praja kembali menggilas tubuh sang tikus. Semakin terburailah usus-usus berwarna merah, sedang darah yang membeku karena dingin semalam menjadi cair kembali, muncrat ke sekeliling bangkai. Dan ternyata semakin riang bocah-bocah itu berlarian. “Hore..hore.. dagingnya tambah banyak!”. Bocah-bocah itu segera berebutan mendapatkan tikus yang kini menjadi potongan daging kecil-kecil. Mereka bergerak dengan cepat sekali, sehingga jalanan hanya sempat macet beberapa saat saja. Toh, polisi-polisi di pos perempatan masih disibukkan dengan kedatangan kenek truk barang. Sementara bocah-bocah, sebentar kemudian sudah tampak lahap memakan daging tikus yang mereka boyong ke taman di tengah awalan Jalan Sriwijaya.
Namun, di antara mereka ada satu bocah yang tampak enggan memakan daging yang berhasil ia raih. Ia hanya memegang erat daging yang masih basah oleh aliran merah darah dan sibuk berjalan ke sana kemari. “Kenapa kau tak segera memakannya?”, tegur bocah berkaus salah satu parpol sambil membersihkan sekitar mulutnya dari sisa-sisa makanan. Tak lupa ia lepaskan daging yang masih melilit di antara gigi-gigi kuningnya dan dengan sekali teguk, tandaslah sisa-sisa daging itu ke dalam kerongkongan untuk meluncur menuju lambung. “Tidak!”, jawab bocah itu, “Aku masih kenyang dengan makanan kemarin!”, dengan tenangnya bocah itu menyeberang jalan menuju tong sampah di pinggir trotoar. “Ah ini dia!” ucapnya dalam hati.
“Kalau begitu, buat kami saja!” bocah berambut merah ikut berbicara dengan berteriak. Tampaknya sedari tadi ia ikut mengamati pula. Bocah, di seberang jalan, yang baru saja meraih kantong plastik dan meloloskannya dari sampah-sampah yang ada di dalamnya diam sejenak. “Sebetulnya aku mau membawanya pulang, untuk emak..” teriaknya. “Tapi kalau kalian masih lapar, ya sudah. Ini! Tangkap!”, dengan ringan ia melemparkan daging berwarna merah darah dari genggaman tangannya melewati ruas jalan, di atas mobil-mobil dan bus kota yang berhenti karena lampu merah, yang derunya telah menenggelamkan suara anak-anak itu. Di taman seberang, bocah-bocah yang lain berteriak gembira. “Hore! Hore!”. Semua sibuk berebutan daging tikus di atas rumput-rumput taman. Lupa pada mobil, motor, juga layang-layang yang sudah diterbangkan angin entah ke mana.
***

Malampun tiba.
Semua bocah tampak duduk berjejer. Tidak pernah tahu dengan pasti, apakah mereka kekenyangan karena daging siang tadi, atau kelelahan akibat bermain seharian penuh. Mereka hanya duduk dengan kepala tegak dan mata memandang jauh melewati lampu-lampu kendaraan bermotor yang silih ganti berhenti berjalan. Sejauh-jauh mata memandang, tertatap pula pada mal ataupun pasaraya. Mereka hanya sekawanan kecil di ruas jalan yang besar.
“Akankah malam ini hujan?”, seorang bertanya.
“Aku mau bermain layang-layang lagi!”, seorang yang lain berkata.
“Mak, aku takut pulang. Malam bertambah gelap!”, bocah lainnya menggumam.
Mendung perlahan datang menyelimuti langit malam. Mungkin juga, menyelimuti bocah-bocah yang satu demi satu berbaring tidur di trotoar. Di pinggir jalan. Di perempatan metro. @

Semarang, 2007

Tidak ada komentar: