Rabu, 03 Desember 2008

Batik Kudus


Ditunggu, Kelompok Pecinta Batik
PADA pameran benda cagar budaya di Gedung Wanita Ngasirah beberapa waktu lalu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mengadakan pelatihan membatik. Kegiatan ituterbukti cukup menarik minta masyarakat terutama pelajar. Mereka cukup antusias mengikuti acara yang dilangsungkan selama dua hari berturut-turut.Fasilitator acara Agus "Ngemplik" melihat kegiatan tersebut cukup baik positif terutama demi melestarikan batik khas Kudus. "Bahkan semestinya perlu digagas kelompok pecinta batik di kota ini. Dengan demikian, keberlanjutan salah satu hasil budaya Kudus itu tetap terjaga," jelasnya.Pria lulusan sekolah tinggi seni rupa itu melihat, batik Kudus memiliki ciri tersendiri dibanding batik lain. Secara umum, memang batik Kudus mirip dengan batik pesisir. Hal itu bisa dilihat misalnya dari jenis warna.Seperti batik pesisiran yang lain, batik Kudus menggunakan warna yang lebih "nge-jreng." Warna itu biasanya didominasi merah, oranye, biru, hijau, dan lain-lain. Berbeda dengan batik pedalaman (Solo dan Jogja) yang lebih banyak menggunakan wana coklat, hitam, dan sedikit putih.
Corak Khas"Jika dilihat dari coraknya, batik Kudus memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi dibanding yang lain," tambah Agus.Namun, menurut pengamatannya, corak itu lebih disebabkan ketakahlian sang pembatik yang kemudian ditiru bersama. Sebab, dia melihat ada beberapa garis tak sempurna dari batik Kudus. Namun, ketaksempurnaan itu kemudian justru menjadi ciri khas. Dia sendiri mengaku sampai saat ini masih berusaha mencari informasi tentang corak batik khas Kudus. Dari beberapa ahli yang dihubunginya, diketahui ada beberapa corak yang menjadi ciri khas Kudus, antara lain perahu kandas, pacetan, kawung, serta tribusono.Salah seorang pembatik Niamah (75) mengakui, corak kapal kandas diilhami dari salah satu bangunan di Kudus yakni rumah kapal. Meski demikian, ada pula yang meyakini corak tersebut berasal dari kapal China yang konon pernah karam kala Kudus masih dilewati sungai.Bagi Agus sendiri, penelusuran sejarah itu sama pentingnya dengan menjaga kelestarian batik. Itulah mengapa, dia mendambakan kelompok pecinta batik yang menurutnya bisa menelusuri jejak batik Kudus di masa lalu.
Harapan Itu Ada di Yuli
PEREMPUAN ini masih muda dan gesit. Dia juga langsung bersemangat saat diajak bicara tentang batik Kudus. "Maaf, saya biasanya bicara banyak kalau sedang menyinggung batik Kudus," ujar Yuli saat ditemui di kediamannya yang asri di RT 4 RW 2 Desa Karangmalang Kecamatan Gebog.Nama lengkapnya Yuli Astuti. Dara kelahiran 1980 itu mengaku baru belajar membatik dua tahun lalu. Sejak itu dia terus menekuni dunia yang sebetulnya tidak terlalu baru baginya. Sebab, keluarganya juga mempunyai usaha di bidang yang tak jauh dari batik yakni bordir."Saya sering bolak-balik Kudus-Solo untuk belajar sekaligus belanja bahan. Tidak hanya cara membatik, saya juga coba mencari tahu sejarah batik Kudus dari beberapa buku dan narasumber," akunya.Selain itu, Yuli juga membuka jejaring dengan beberapa pecinta batik di beberapa kota besar seperti Semarang, Solo, Bandung, bahkan Jakarta. Dari merekalah dia bisa semakin memahami batik, sehingga pengetahuannya pun juga bertambah. Yuli mengaku banyak mendapat informasi dari salah seorang desainer batik ternama, Iwan Tirta.Soal sejarah batik Kudus, dia mengungkapkan bahwa sebuah buku terbitan Belanda pernah menulis keberadaanya di tahun 1950-an. Saat itulah dia menduga batik Kudus mengalami kejayaan. Namun, sekitar dua atau tiga dasawarsa kemudian, salah satu hasil budaya itu menghilang.Kalah bersaing dengan batik cap asal daerah lain, serta lebih senangnya masyarakat di Kudus untuk mbathil (menjadi buruh rokok) daripada mbatik dianggap menjadi penyebab utamanya. Sejak itu, batik Kudus hampir seperti kapal yang kandas (sesuai dengan motif yang menjadi ciri batik itu sendiri).Yuli sendiri berharap bisa mengangkat citra batik Kudus kembali. Dia memulainya dengan mengajak beberapa orang untuk membatik. Dia juga mulai melakukan modifikasi baik motif maupun desain. Hal itu dilakukan sebagai inovasi sekaligus guna menekan harga jual.Bahkan, sebagai bentuk keseriusannya, Yuli juga telah mematenkan desain kapal kandas serta menara miliknya. Saat ini, batik hasil kreasinya telah terdaftar dengan nama paten Muria Batik Kudus bernomor registrasi D 002007030389.Ya, melihat kerja Yuli tak salah kiranya jika membebankan kelanjutan nasib batik Kudus padanya. Tapi, ada lagi pihak yang semestinya juga bertanggung jawab terhadap kelangsungan batik Kudus itu. Siapa?
Semuanya Tergantung pada Masyarakat
LAZIMNYA, pemerintah menjadi timpaan segala kesalahan. Termasuk persoalan turunnya pamor batik Kudus dalam dua dasawarsa terakhir. Bubarnya sebuah pasar tradisional di dekat Menara Kudus disebut salah satu dosa mereka."Pasar itu dulu menjadi pusat perdagangan batik Kudus. Tapi karena bubar atau dibubarkan maka pedagang menjadi semacam kehilangan pegangan. Mereka tak tahu harus ke mana lagi menjual karyanya," ujar salah seorang pengamat batik Kudus yang enggan disebutkan namanya.Namun, hal itu ternyata tak terjadi saat ini. Pemkab Kudus belakangan justru gencar mempromosikan batik itu. Kepala Seksi Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Achmad beberapa waktu lalu menyatakan pihaknya terus berupaya mengikutkan perajin batik seperti Yuli Astuti dalam berbagai pameran. Selain itu, guna melestarikan batik, dinasnya juga mengirim beberapa orang untuk magang di pusat industri batik yang ada di Pekalongan serta Lasem.Tak cukup dengan itu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan juga mendukung keberadaan salah satu hasil budaya khas Kudus dengan mengadakan workshop untuk pelajar. Salah satu staf dinas tersebut Suyanto menegaskan pihaknya memang berkomitmen untuk mengangkat kembali tradisi budaya yang hampir punah, seperti batik Kudus itu.Dunia pendidikan juga ikut menyokong. SMKN 1 Kudus misalnya, saat ini telah mempunyai ekstra kurikuler di bidang batik. "Yang ikut jumlahnya mencapai 10-20 anak. Seminggu sekali kami bertemu untuk belajar membatik di sekolah," ujar guru seni budaya sekolah itu Rahmat Santosa saat ditemui di ruang kerjanya Jumat (28/11).Para pelajar itu belajar mulai dari membuat pola, nyanthing (memberi malam), mewarnai, hingga meluruhkan malam.Meihat itu semua, rasanya sangat mungkin mengembalikan kejayaan batik Kudus seperti dulu. Ada perajin yang sangat bersemangat untuk berkarya. Yang sepuh, masih mau menularkan ilmunya pada yang muda. Sementara yang muda, juga tak kalah semangatnya untuk belajar mulai dari sejarah batik hingga membuat inovasi dalam corak membatik.Pemerintah juga sering membuka ruang bagi mereka untuk ikut dalam pameran dan juga mungkin bantuan modal. Lantas kurang apa lagi?Ah, ya apresiasi masyarakat. Rasanya percuma bila semua elemen pendukung itu bekerja tapi tak mendapat apresiasi dari masyarakatnya sendiri. Yuli sendiri mengakui apabila, saat ini pelanggan terbanyaknya justru berasal dari luar kota."Karya kami justru lebih banyak dipesan oleh orang luar Kudus. Entah mengapa masyarakat di sini belum banyak yang tertarik. Yang pasti bukan karena harga, karena batik saya juga ada yang harganya bersaing dengan batik cap tapi kualitasnya sama dengan batik tulis," katanya.Sepertinya, himbauan pada masyarakat untuk memulai rasa cinta pada batik Kudus harus segera dimulai. Atau setidaknya bisa kita mulai dari diri sendiri. @

Tidak ada komentar: