TAK lama setelah perlengkapan milik Mugiyono Kasido ditepikan, sesosok manusia berwarna putih masuk ke panggung dari sayap kanan. Dia berjalan pelan. Pelan sekali, hingga seolah dia tak bergerak. Tapi sekejap kemudian, sosok itu ternyata telah berada di bibir panggung menghadap penonton seperti ingin menyampaikan salam pembuka.Sosok itu adalah Yoshito Ohno. Dialah putra Kazuo Ohno, penari ulung Jepang yang ikut menciptakan tarian kontemporer butoh. Diiringi suara petir Ohno terus bergerak di panggung. Gerakan itulah yang pada awalnya dikenalkan sebagai Ankoku Butoh (Butoh Kegelapan) tapi kemudian lebih dikenal sebagai butoh saja.Oleh Dan Hermon, butoh disebut sebagai tari kontemporer yang punya sedikit koneksi baik dengan tari tradisional Jepang maupun kebanyakan tari barat, walaupun masih meminjam beberapa elemen darinya. Tari tersebut kemudian disukai dan dipelajari tak hanya seniman Jepang tapi juga dari berbagai negeri. Usai pementasan Lengser dari Mugiyono, Ohno Senin (15/12) malam lalu membawakan reportoar bertajuk Emptiness.Setelah bergerak penuh kelembutan di fragmen pertama, Ohno memulai fragmen kedua dengan gerakan yang karikatural. Musik pengiring dari dentingan gitar muncul menggantikan suara petir menyambar. Masih dengan kostum serbaputih Ohno kembali menjelajahi panggung.Selama bergerak, otot dari punggung telapak tangannya terlihat mengeras. Jari-jarinya kadang lurus sejajar dengan lengan, tapi kadang pula menekuk di beberapa ruasnya seperti siap mencengkeram. Tak jarang pula jari-jari itu mengepal, menunjukkan besarnya energi yang dibawa.Diantara fragmen-fragmen tariannya, Yoshito Ohno membuat kaget penonton dengan melihatkan foto-foto dirinya bersama Kazuo Ohno yang tampak terbaring sakit. Yoshito terlihat membawa boneka mirip wayang golek. Usai semua foto ditampilkan, Yoshito yang sempat "bersembunyi" keluar dengan membawa boneka itu.Kini dia telah mengenakan setelan jas lengkap seperti akan hadir ke sebuah pesta. Yoshito kemudian turun dari panggung dan menari sesukanya bersama boneka diiringi lagi Can't Help Falling in Love yang diremix oleh UB40. Semuanya pun gembira. Ending itu terkesan kontras dengan citra butoh selama ini yang dikenal muram dan gelap, seperti yang ditampilkan Ohno di awal pentas.Butoh disebutkan bermula dari sebuah karya tari berjudul Kinjiki (Warna yang Terlarang) yang dipentaskan oleh Tatsumi Hijikata pada tahun 1959. Yoshito Ohno ikut di pementasan itu bersama Tatsumi sendiri. Karya tersebut sempat menuai kontroversi sebagai sebuah karya antisosial. Setelah itu, Tatsumi bersama Kazuo dan juga Yoshito Ohno, serta satu penari lagi Akira Kasai melahirkan butoh di tahun 1960-an.Pementasan Ohno sendiri merupakan bagian dari pagelaran Asia Tri Jogja 2008 The Life of Butoh. Pada acara tersebut tampil beberapa penari butoh seperti Tomiko Takai dan Saga Kobayashi, serta penari lain yang pernah belajar langsung dari dua pelopor butoh Tatsumi Hijikata dan Kazuo Ohno. Acara yang digelar Jumat-Rabu (12-17/12) itu tidak hanya menampilkan beberapa pementasan tapi juga pameran dokumentasi serta workshop. Dengan acara itu, masyarakat diharap bisa melihat butoh lebih dalam. Selain penari Jepang, beberapa seniman Indonesia seperti Mugiyono Kasido dan Jemek Supardi juga ikut tampil. @
Rabu, 24 Desember 2008
Rabu, 17 Desember 2008
Monolog Eko Tunas
Eko Tunas akan menyuguhkan monolog bertajuk Krosi di tiga kota. Pentas dengan bahasa Tegalan itu akan digelar di Rembang (21/12), Kudus (22/12), dan Jepara (23/12). Pertunjukan itu sebelumnya pernah ditampilkan di beberapa kota seperti Jakarta, Tegal, dan Jogja. Pagelaran besok didukung oleh Artpro, Reinkarnasi, Padepokan Seni Murni Asih, dan Jaringan Teater Pelajar Jepara.
Kamis, 04 Desember 2008
(Me)museum(kan) Kretek
SATU museum yang dibanggakan Kudus adalah Museum Kretek. Museum tersebut berada tak jauh dari Kota. Di sana bisa dijumpai selintas lingkungan seputar kretek (bisa dibaca rokok).Konon, museum tersebut merupakan yang pertama kali dibangun di Indonesia bahkan Asia Tenggara. Museum Kretek diresmikan oleh Gubernur Jateng Soepardjo Roestam 3 Oktober 1986. Roestam sendiri tercatat sebagai salah satu penggagas museum yang diharap mendukung keberadaan Kudus sebagai Kota Kretek.Museum itu memiliki beberapa koleksi mulai dari alat pembuat kretek hingga berbagai macam produk yang dijual di masyarakat. Bahkan, beberapa benda milik legenda rokok di Kudus Nitisemito juga dipajang. Selain itu, diorama yang memaparkan industri kretek dari hulu hingga hilir juga ada.Sepintas, museum itu sangat "menggiurkan" untuk dicicipi. Sayang, keadaannya justru bertolak belakang. Tempat itu bisa dikatakan, dalam bahasa yang sedang nge-tren, garing. Tak pelak, pengelolaan yang sekenanya menjadi sumber masalah. Museum Kretek pernah dikelola oleh Persatuan Pabrik Rokok Kudus (PPRK). Namun, sejak tahun lalu berpindah ke tangan pemkab. Meski demikian, sejauh ini belum nampak perubahan bakal terjadi. Padahal banyak, setidaknya menurut penulis, yang harus dibenahi.
Yang pertama, menyangkut tata ruang. Termasuk disini adalah display (peletakan) beberapa koleksi. Ada beberapa penataan yang serasa kurang pas. Yang sungguh sangat mengganggu yakni peletakan diorama dan koleksi rokok. Diorama industri rokok ditempatkan sebagai salah satu bagian dari dinding. Akibatnya, pengunjung hanya bisa melihatnya dari satu sisi saja. Padahal, justru akan lebih menarik jika diorama itu bisa dinikmati dari berbagai sisi sekaligus. Sementara itu, penyusunan produk rokok dilakukan dengan menatanya di sebuah kotak berkaca secara horizontal. Cara itu cukup mengganggu pengunjung yang ingin melihat. Mereka akan kesulitan terutama saat ingin melihat koleksi rokok yang berada di tengah kotak itu. Selayaknya, koleksi rokok tersebut disusun secara vertikal. Selain mudah dilihat, penyusunannya juga lebih mudah. Ruangan museum yang berbentuk segi empat juga sudah seharusnya ditata ulang. Yang harus diutamakan tentu alur pengunjung saat masuk hingga keluar.
Program
Penyusunan program museum juga menjadi hal pokok yang wajib dikerjakan. Selama ini, bisa dikatakan pengelolaan museum berjalan mengalir begitu saja. Tidak ada sosialisasi secara intensif pada masyarakat tentang arti penting museum itu. Akhirnya, yang datang bukan masyarakat yang apresiatif terhadap sejarah industri rokok di Kudus tapi justru mereka yang ingin berpacaran di taman. Pengelola bisa saja bekerja sama dengan institusi pendidikan misalnya. Dalam jangka waktu tertentu, rombongan siswa bisa dihadirkan di sana. Selain belajar sejarah, mereka juga bertamasya meski tak seperti di objek wisata. Akan lebih menarik pula, apabila ada simulasi pembuatan kretek di museum. Para pengunjung bisa mencoba membuat kretek. Tentu saja, program tersebut tetap dengan embel-embel tidak bermaksud menyarankan untuk merokok. Pengunjung hanya diharapkan untuk menghargai panjangnya sejarah rokok di Kudus yang telah menjadi nadi kota tempat mereka tinggal. Pengunjung juga harus dimanjakan dengan guide yang betul-betul memahami sejarah kretek. Dia atau mereka menemani pengunjung selama berkunjung sembari memberi penjelasan tentang koleksi yang ada. Keberadaan guide mutlak adanya. Sayang, selama ini selalu diabaikan. Museum juga bisa berinisiatif mengadakan beberapa acara untuk menarik minat masyarakat. Segala lomba, segala pentas, tentu layak diselenggarakan.
Pengelolaan
Mengelola sebuah museum memang tak mudah. Namun, sebenarnya juga tak sulit. Saat ini di beberapa daerah tengah bergerak sistem pengelolaan yang menjauhkan museum dari kesan tua, angker, dan kuno. Mungkin bisa disimak keberadaan Museum Ronggowarsito di Semarang dan Museum Batik di Pekalongan. Dinas yang mengelola Museum Kretek saat ini bisa belajar ke sana. Karena sebaliknya, Museum Kretek justru sepertinya semakin mengukuhkan kesan tua dan kuno yang berakibat menjauhnya masyarakat. Cara menghapus kesan itu juga bukan berarti menyulap museum menjadi taman ria. Karenanya, patut dikaji kembali rencana Diparbud yang akan membangun sebuah arena permainan anak di sekitar museum itu. Dana untuk membuatnya mungkin lebih tepat bila dialokasikan guna penataan ulang museum dan juga penyelenggaraan beberapa program mendatangkan pengunjung. Persoalan dana memang tak lagi masalah bagi Kudus untuk mengelola museum itu. Dana bagi hasil cukai yang jumlahnya milyaran rupiah bisa dimanfatkan untuk itu. @
Rabu, 03 Desember 2008
Monolog Teater Garasi
Sum, Ceritamu Itu..
PENDAPA di Studio Teater Garasi, Yogyakarta, riuh oleh musik dangdut progresif. Musik yang digemari sebagian masyarakat Indonesia itu sengaja diputar sambil menunggu penonton duduk di tempat yang telah disediakan. Sebagian memilih di kursi, sebagian lagi memilih mendekat di bibir panggung.Sesaat setelah suara musik menghilang, sesosok perempuan muncul di panggung mengenakan kerudung. Dia bercerita keinginannya untuk bekerja di luar negeri. Setelah itu, lampu yang tadinya hanya mengarah ke perempuan tersebut menyebar ke seluruh panggung.Perempuan itu berjalan ke depan, melepas kerudung, dan berkata, "Selamat malam semua. Tadi itu si Sum, perempuan yang kemudian berangkat jadi TKW."Itulah gaya B Verry Handayani di atas panggung saat tampil membawakan lakon monolog bertajuk "Sum; Cerita dari Rantau" Jumat (28/11) malam lalu.Lagu dangdut di awal pentas seolah mewakili kaum pinggiran yang tak henti ditindas. Seperti para TKW yang meski disebut pahlawan devisa tapi tetap diperlakukan semena-mena. Dan parahnya, perlakuan itu tidak hanya dilakukan oleh sang majikan di negeri seberang, tapi juga oleh oknum-oknum aparat negara.Sesekali bercerita, Verry juga kerap memerankan beberapa tokoh. Tak hanya Sum, dia juga bermain sebagai Par, perempuan yang juga bekerja sebagai TKW, dan penjaga loket di bandara serta calo yang menawarkan angkutan dari bandara ke kampung halaman. Perubahan karakter dari satu ke yang lain itu kadang ditimpali dengan iringan musik yang semakin menegaskan garis perpindahan. Verry memang cukup lihai dalam melarutkan emosi penonton dalam alur yang dia bawa. Dia membuat penonton tertawa saat meniru tingkah penjual jasa yang kocak. Dia juga menciptakan ketegangan kala merepresentasikan adegan Par di penjara gara-gara izin kerjanya dianggap palsu. Verry juga ikut menebarkan rasa duka kala menjadi Sum yang bercerita betapa menderitanya dia selama bekerja di negeri jiran. Semua itu dikisahkan di atas panggung dengan set minimalis tapi fungsional.Lewat Sum, Verry hendak bercerita tentang penderitaan TKW. Dalam katalog pertunjukan, Verry mengakui persoalan TKW itu seperti hal yang dekat tapi sesungguhnya jauh. Dekat, karena hampir setiap saat media memuat berita tentangnya, sementara jauh sebab dia merasa baru mengenal isu tersebut lewat sebuah video pertunjukan monolog di sebuah festival. Tapi jarak yang jauh itu berhasil ditempuh Verry. Setidaknya lewat pertunjukan yang dia mainkan empat kali dalam kurun waktu kurang dari seminggu. Lakon itu juga serasa istimewa karena dipentaskan bersamaan dengan peringatan hari antikekerasan terhadap perempuan. Bersama pementasan Jamaluddin Latif di Japan Foundation Jakarta, pentas kemarin juga menutup "Cerita tentang Nama-nama", rangkaian pentas monolog yang digelar Teater Garasi. Ya, Sum ceritamu itu menyadarkan kami. (Tapi, entah mereka..) @
Diterbitkan di Suara Merdeka, Selasa (2/12)
Batik Kudus
Ditunggu, Kelompok Pecinta Batik
PADA pameran benda cagar budaya di Gedung Wanita Ngasirah beberapa waktu lalu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mengadakan pelatihan membatik. Kegiatan ituterbukti cukup menarik minta masyarakat terutama pelajar. Mereka cukup antusias mengikuti acara yang dilangsungkan selama dua hari berturut-turut.Fasilitator acara Agus "Ngemplik" melihat kegiatan tersebut cukup baik positif terutama demi melestarikan batik khas Kudus. "Bahkan semestinya perlu digagas kelompok pecinta batik di kota ini. Dengan demikian, keberlanjutan salah satu hasil budaya Kudus itu tetap terjaga," jelasnya.Pria lulusan sekolah tinggi seni rupa itu melihat, batik Kudus memiliki ciri tersendiri dibanding batik lain. Secara umum, memang batik Kudus mirip dengan batik pesisir. Hal itu bisa dilihat misalnya dari jenis warna.Seperti batik pesisiran yang lain, batik Kudus menggunakan warna yang lebih "nge-jreng." Warna itu biasanya didominasi merah, oranye, biru, hijau, dan lain-lain. Berbeda dengan batik pedalaman (Solo dan Jogja) yang lebih banyak menggunakan wana coklat, hitam, dan sedikit putih.
Corak Khas"Jika dilihat dari coraknya, batik Kudus memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi dibanding yang lain," tambah Agus.Namun, menurut pengamatannya, corak itu lebih disebabkan ketakahlian sang pembatik yang kemudian ditiru bersama. Sebab, dia melihat ada beberapa garis tak sempurna dari batik Kudus. Namun, ketaksempurnaan itu kemudian justru menjadi ciri khas. Dia sendiri mengaku sampai saat ini masih berusaha mencari informasi tentang corak batik khas Kudus. Dari beberapa ahli yang dihubunginya, diketahui ada beberapa corak yang menjadi ciri khas Kudus, antara lain perahu kandas, pacetan, kawung, serta tribusono.Salah seorang pembatik Niamah (75) mengakui, corak kapal kandas diilhami dari salah satu bangunan di Kudus yakni rumah kapal. Meski demikian, ada pula yang meyakini corak tersebut berasal dari kapal China yang konon pernah karam kala Kudus masih dilewati sungai.Bagi Agus sendiri, penelusuran sejarah itu sama pentingnya dengan menjaga kelestarian batik. Itulah mengapa, dia mendambakan kelompok pecinta batik yang menurutnya bisa menelusuri jejak batik Kudus di masa lalu.
PADA pameran benda cagar budaya di Gedung Wanita Ngasirah beberapa waktu lalu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mengadakan pelatihan membatik. Kegiatan ituterbukti cukup menarik minta masyarakat terutama pelajar. Mereka cukup antusias mengikuti acara yang dilangsungkan selama dua hari berturut-turut.Fasilitator acara Agus "Ngemplik" melihat kegiatan tersebut cukup baik positif terutama demi melestarikan batik khas Kudus. "Bahkan semestinya perlu digagas kelompok pecinta batik di kota ini. Dengan demikian, keberlanjutan salah satu hasil budaya Kudus itu tetap terjaga," jelasnya.Pria lulusan sekolah tinggi seni rupa itu melihat, batik Kudus memiliki ciri tersendiri dibanding batik lain. Secara umum, memang batik Kudus mirip dengan batik pesisir. Hal itu bisa dilihat misalnya dari jenis warna.Seperti batik pesisiran yang lain, batik Kudus menggunakan warna yang lebih "nge-jreng." Warna itu biasanya didominasi merah, oranye, biru, hijau, dan lain-lain. Berbeda dengan batik pedalaman (Solo dan Jogja) yang lebih banyak menggunakan wana coklat, hitam, dan sedikit putih.
Corak Khas"Jika dilihat dari coraknya, batik Kudus memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi dibanding yang lain," tambah Agus.Namun, menurut pengamatannya, corak itu lebih disebabkan ketakahlian sang pembatik yang kemudian ditiru bersama. Sebab, dia melihat ada beberapa garis tak sempurna dari batik Kudus. Namun, ketaksempurnaan itu kemudian justru menjadi ciri khas. Dia sendiri mengaku sampai saat ini masih berusaha mencari informasi tentang corak batik khas Kudus. Dari beberapa ahli yang dihubunginya, diketahui ada beberapa corak yang menjadi ciri khas Kudus, antara lain perahu kandas, pacetan, kawung, serta tribusono.Salah seorang pembatik Niamah (75) mengakui, corak kapal kandas diilhami dari salah satu bangunan di Kudus yakni rumah kapal. Meski demikian, ada pula yang meyakini corak tersebut berasal dari kapal China yang konon pernah karam kala Kudus masih dilewati sungai.Bagi Agus sendiri, penelusuran sejarah itu sama pentingnya dengan menjaga kelestarian batik. Itulah mengapa, dia mendambakan kelompok pecinta batik yang menurutnya bisa menelusuri jejak batik Kudus di masa lalu.
Harapan Itu Ada di Yuli
PEREMPUAN ini masih muda dan gesit. Dia juga langsung bersemangat saat diajak bicara tentang batik Kudus. "Maaf, saya biasanya bicara banyak kalau sedang menyinggung batik Kudus," ujar Yuli saat ditemui di kediamannya yang asri di RT 4 RW 2 Desa Karangmalang Kecamatan Gebog.Nama lengkapnya Yuli Astuti. Dara kelahiran 1980 itu mengaku baru belajar membatik dua tahun lalu. Sejak itu dia terus menekuni dunia yang sebetulnya tidak terlalu baru baginya. Sebab, keluarganya juga mempunyai usaha di bidang yang tak jauh dari batik yakni bordir."Saya sering bolak-balik Kudus-Solo untuk belajar sekaligus belanja bahan. Tidak hanya cara membatik, saya juga coba mencari tahu sejarah batik Kudus dari beberapa buku dan narasumber," akunya.Selain itu, Yuli juga membuka jejaring dengan beberapa pecinta batik di beberapa kota besar seperti Semarang, Solo, Bandung, bahkan Jakarta. Dari merekalah dia bisa semakin memahami batik, sehingga pengetahuannya pun juga bertambah. Yuli mengaku banyak mendapat informasi dari salah seorang desainer batik ternama, Iwan Tirta.Soal sejarah batik Kudus, dia mengungkapkan bahwa sebuah buku terbitan Belanda pernah menulis keberadaanya di tahun 1950-an. Saat itulah dia menduga batik Kudus mengalami kejayaan. Namun, sekitar dua atau tiga dasawarsa kemudian, salah satu hasil budaya itu menghilang.Kalah bersaing dengan batik cap asal daerah lain, serta lebih senangnya masyarakat di Kudus untuk mbathil (menjadi buruh rokok) daripada mbatik dianggap menjadi penyebab utamanya. Sejak itu, batik Kudus hampir seperti kapal yang kandas (sesuai dengan motif yang menjadi ciri batik itu sendiri).Yuli sendiri berharap bisa mengangkat citra batik Kudus kembali. Dia memulainya dengan mengajak beberapa orang untuk membatik. Dia juga mulai melakukan modifikasi baik motif maupun desain. Hal itu dilakukan sebagai inovasi sekaligus guna menekan harga jual.Bahkan, sebagai bentuk keseriusannya, Yuli juga telah mematenkan desain kapal kandas serta menara miliknya. Saat ini, batik hasil kreasinya telah terdaftar dengan nama paten Muria Batik Kudus bernomor registrasi D 002007030389.Ya, melihat kerja Yuli tak salah kiranya jika membebankan kelanjutan nasib batik Kudus padanya. Tapi, ada lagi pihak yang semestinya juga bertanggung jawab terhadap kelangsungan batik Kudus itu. Siapa?
PEREMPUAN ini masih muda dan gesit. Dia juga langsung bersemangat saat diajak bicara tentang batik Kudus. "Maaf, saya biasanya bicara banyak kalau sedang menyinggung batik Kudus," ujar Yuli saat ditemui di kediamannya yang asri di RT 4 RW 2 Desa Karangmalang Kecamatan Gebog.Nama lengkapnya Yuli Astuti. Dara kelahiran 1980 itu mengaku baru belajar membatik dua tahun lalu. Sejak itu dia terus menekuni dunia yang sebetulnya tidak terlalu baru baginya. Sebab, keluarganya juga mempunyai usaha di bidang yang tak jauh dari batik yakni bordir."Saya sering bolak-balik Kudus-Solo untuk belajar sekaligus belanja bahan. Tidak hanya cara membatik, saya juga coba mencari tahu sejarah batik Kudus dari beberapa buku dan narasumber," akunya.Selain itu, Yuli juga membuka jejaring dengan beberapa pecinta batik di beberapa kota besar seperti Semarang, Solo, Bandung, bahkan Jakarta. Dari merekalah dia bisa semakin memahami batik, sehingga pengetahuannya pun juga bertambah. Yuli mengaku banyak mendapat informasi dari salah seorang desainer batik ternama, Iwan Tirta.Soal sejarah batik Kudus, dia mengungkapkan bahwa sebuah buku terbitan Belanda pernah menulis keberadaanya di tahun 1950-an. Saat itulah dia menduga batik Kudus mengalami kejayaan. Namun, sekitar dua atau tiga dasawarsa kemudian, salah satu hasil budaya itu menghilang.Kalah bersaing dengan batik cap asal daerah lain, serta lebih senangnya masyarakat di Kudus untuk mbathil (menjadi buruh rokok) daripada mbatik dianggap menjadi penyebab utamanya. Sejak itu, batik Kudus hampir seperti kapal yang kandas (sesuai dengan motif yang menjadi ciri batik itu sendiri).Yuli sendiri berharap bisa mengangkat citra batik Kudus kembali. Dia memulainya dengan mengajak beberapa orang untuk membatik. Dia juga mulai melakukan modifikasi baik motif maupun desain. Hal itu dilakukan sebagai inovasi sekaligus guna menekan harga jual.Bahkan, sebagai bentuk keseriusannya, Yuli juga telah mematenkan desain kapal kandas serta menara miliknya. Saat ini, batik hasil kreasinya telah terdaftar dengan nama paten Muria Batik Kudus bernomor registrasi D 002007030389.Ya, melihat kerja Yuli tak salah kiranya jika membebankan kelanjutan nasib batik Kudus padanya. Tapi, ada lagi pihak yang semestinya juga bertanggung jawab terhadap kelangsungan batik Kudus itu. Siapa?
Semuanya Tergantung pada Masyarakat
LAZIMNYA, pemerintah menjadi timpaan segala kesalahan. Termasuk persoalan turunnya pamor batik Kudus dalam dua dasawarsa terakhir. Bubarnya sebuah pasar tradisional di dekat Menara Kudus disebut salah satu dosa mereka."Pasar itu dulu menjadi pusat perdagangan batik Kudus. Tapi karena bubar atau dibubarkan maka pedagang menjadi semacam kehilangan pegangan. Mereka tak tahu harus ke mana lagi menjual karyanya," ujar salah seorang pengamat batik Kudus yang enggan disebutkan namanya.Namun, hal itu ternyata tak terjadi saat ini. Pemkab Kudus belakangan justru gencar mempromosikan batik itu. Kepala Seksi Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Achmad beberapa waktu lalu menyatakan pihaknya terus berupaya mengikutkan perajin batik seperti Yuli Astuti dalam berbagai pameran. Selain itu, guna melestarikan batik, dinasnya juga mengirim beberapa orang untuk magang di pusat industri batik yang ada di Pekalongan serta Lasem.Tak cukup dengan itu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan juga mendukung keberadaan salah satu hasil budaya khas Kudus dengan mengadakan workshop untuk pelajar. Salah satu staf dinas tersebut Suyanto menegaskan pihaknya memang berkomitmen untuk mengangkat kembali tradisi budaya yang hampir punah, seperti batik Kudus itu.Dunia pendidikan juga ikut menyokong. SMKN 1 Kudus misalnya, saat ini telah mempunyai ekstra kurikuler di bidang batik. "Yang ikut jumlahnya mencapai 10-20 anak. Seminggu sekali kami bertemu untuk belajar membatik di sekolah," ujar guru seni budaya sekolah itu Rahmat Santosa saat ditemui di ruang kerjanya Jumat (28/11).Para pelajar itu belajar mulai dari membuat pola, nyanthing (memberi malam), mewarnai, hingga meluruhkan malam.Meihat itu semua, rasanya sangat mungkin mengembalikan kejayaan batik Kudus seperti dulu. Ada perajin yang sangat bersemangat untuk berkarya. Yang sepuh, masih mau menularkan ilmunya pada yang muda. Sementara yang muda, juga tak kalah semangatnya untuk belajar mulai dari sejarah batik hingga membuat inovasi dalam corak membatik.Pemerintah juga sering membuka ruang bagi mereka untuk ikut dalam pameran dan juga mungkin bantuan modal. Lantas kurang apa lagi?Ah, ya apresiasi masyarakat. Rasanya percuma bila semua elemen pendukung itu bekerja tapi tak mendapat apresiasi dari masyarakatnya sendiri. Yuli sendiri mengakui apabila, saat ini pelanggan terbanyaknya justru berasal dari luar kota."Karya kami justru lebih banyak dipesan oleh orang luar Kudus. Entah mengapa masyarakat di sini belum banyak yang tertarik. Yang pasti bukan karena harga, karena batik saya juga ada yang harganya bersaing dengan batik cap tapi kualitasnya sama dengan batik tulis," katanya.Sepertinya, himbauan pada masyarakat untuk memulai rasa cinta pada batik Kudus harus segera dimulai. Atau setidaknya bisa kita mulai dari diri sendiri. @
LAZIMNYA, pemerintah menjadi timpaan segala kesalahan. Termasuk persoalan turunnya pamor batik Kudus dalam dua dasawarsa terakhir. Bubarnya sebuah pasar tradisional di dekat Menara Kudus disebut salah satu dosa mereka."Pasar itu dulu menjadi pusat perdagangan batik Kudus. Tapi karena bubar atau dibubarkan maka pedagang menjadi semacam kehilangan pegangan. Mereka tak tahu harus ke mana lagi menjual karyanya," ujar salah seorang pengamat batik Kudus yang enggan disebutkan namanya.Namun, hal itu ternyata tak terjadi saat ini. Pemkab Kudus belakangan justru gencar mempromosikan batik itu. Kepala Seksi Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Achmad beberapa waktu lalu menyatakan pihaknya terus berupaya mengikutkan perajin batik seperti Yuli Astuti dalam berbagai pameran. Selain itu, guna melestarikan batik, dinasnya juga mengirim beberapa orang untuk magang di pusat industri batik yang ada di Pekalongan serta Lasem.Tak cukup dengan itu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan juga mendukung keberadaan salah satu hasil budaya khas Kudus dengan mengadakan workshop untuk pelajar. Salah satu staf dinas tersebut Suyanto menegaskan pihaknya memang berkomitmen untuk mengangkat kembali tradisi budaya yang hampir punah, seperti batik Kudus itu.Dunia pendidikan juga ikut menyokong. SMKN 1 Kudus misalnya, saat ini telah mempunyai ekstra kurikuler di bidang batik. "Yang ikut jumlahnya mencapai 10-20 anak. Seminggu sekali kami bertemu untuk belajar membatik di sekolah," ujar guru seni budaya sekolah itu Rahmat Santosa saat ditemui di ruang kerjanya Jumat (28/11).Para pelajar itu belajar mulai dari membuat pola, nyanthing (memberi malam), mewarnai, hingga meluruhkan malam.Meihat itu semua, rasanya sangat mungkin mengembalikan kejayaan batik Kudus seperti dulu. Ada perajin yang sangat bersemangat untuk berkarya. Yang sepuh, masih mau menularkan ilmunya pada yang muda. Sementara yang muda, juga tak kalah semangatnya untuk belajar mulai dari sejarah batik hingga membuat inovasi dalam corak membatik.Pemerintah juga sering membuka ruang bagi mereka untuk ikut dalam pameran dan juga mungkin bantuan modal. Lantas kurang apa lagi?Ah, ya apresiasi masyarakat. Rasanya percuma bila semua elemen pendukung itu bekerja tapi tak mendapat apresiasi dari masyarakatnya sendiri. Yuli sendiri mengakui apabila, saat ini pelanggan terbanyaknya justru berasal dari luar kota."Karya kami justru lebih banyak dipesan oleh orang luar Kudus. Entah mengapa masyarakat di sini belum banyak yang tertarik. Yang pasti bukan karena harga, karena batik saya juga ada yang harganya bersaing dengan batik cap tapi kualitasnya sama dengan batik tulis," katanya.Sepertinya, himbauan pada masyarakat untuk memulai rasa cinta pada batik Kudus harus segera dimulai. Atau setidaknya bisa kita mulai dari diri sendiri. @
Minggu, 30 November 2008
Sewu Kupat Colo
Kamis, 27 November 2008
Di Perempatan Metro
“Meludahlah, Tuan, Nyonya, meludahlah!”, anak-anak kecil mengiba kepada pengendara kendaraan bermotor, baik itu roda dua maupun empat. Juga kepada penumpang di atas bus kota.
“Meludahlah, Tuan, Nyonya, meludahlah!”, ujar mereka berulang kali.
“Bagaimana kalau kuberi saja kau lima ratus rupiah”, tawar seorang penumpang mobil merah.
Sang anak menjawab, “Tidak perlu, Tuan. Kami hanya perlu ludah tuan. Tak perlu uang. Meludahlah. Meludahlah di aspal yang kami pijak tanpa alas kaki!”.
“Lalu akan kau ke manakan air ludahku nanti?”, seorang ibu yang berada di taksi bertanya seolah perduli.
“Tak perlu kecewa, Bu. Ludah ibu akan kami rajut menjadi benang, untuk terbangkan layang-layang!”.
Ya, di perempatan metro, memang banyak anak-anak kecil yang suka bermain layang-layang. Namun siapa sangka bahwa benang yang mereka pakai untuk menerbangkan layang-layang itu berasal dari rajutan ludah para pengguna jalan. Ludah-ludah yang tergenang di atas aspal, entah bagaimana itu bisa terjadi, setelah mereka sentuh langsung berubah menjadi helaian tipis benang. Namun jangan berpikir itu semudah menginjak pedal gas ataupun rem, karena ternyata hanya anak-anak jalanan saja yang mampu merubahnya dalam wujud benang. Pernah mencoba seorang pengendara sepeda motor roda dua. Ia sentuh genangan ludah yang kebetulan terletak di sebelah kaki kirinya. Alih-alih mendapat segulung benang, justru tertawaan dari para pengendara lain yang ia dapatkan karena jari-jemari tangannya kini berlumuran air ludah.
“Ha.. ha.. dasar orang bodoh!”, kata pengemudi angkot.
“Ayo Tuan, meludah lagi! Ayo!”, suara seorang bocah menyemangati seorang baya kembali terdengar lantang memelas.
“Ya, ayo Tuan. Lagi! Lagi! Biar layang-layang kami tambah tinggi!”, seorang bocah perempuan yang lebih muda ikut memeriahkan suasana.
Sedangkan si pria yang berada di dalam mobil hitam ceper mengkilat kian bersemangat. Ia menurunkan kaca jendela, sehingga sebagian tubuhnya bisa menjulur keluar. Dan tanpa ampun, ia keluarkan ludahnya berulang kali, menerpa aspal yang memantulkan panas matahari. Bahkan ketika lampu merah telah berganti hijau ia masih meludah sambil jalankan mobilnya. Maka terbentuklah aliran ludah terpanjang, yang terbentang dari Jl. Sriwijaya hingga Lamper Sari. Anak-anak berteriak gembira.
Mereka berlari mengikuti aliran ludah tersebut. Namun, ketika tiba di tengah-tengah perempatan, seorang bocah berhenti sambil memandang ke arah utara Jalan MT Haryono. “Hey kawan-kawan, lihat! Kita dapat rejeki!”, bocah yang berkaos kuning tersebut berteriak. Dan sambil menunjuk aspalan tepat di depan toko listrik, ia melanjutkan teriakannya, “Lihat! Hari ini kita bisa makan daging!”. “Hore.. hore..!”, yang lain ikut berteriak gembira. Bergegas mereka bersama menuju ke sana, tak peduli lalu lalang mobil, motor, bus kota, apalagi truk barang yang kerap berhenti di depan pos polisi.
Di depan toko listrik itu, memang tergeletak sebuah daging. Tepatnya, sebuah tikus besar dengan isi tubuh terburai ke aspal. Sebuah motor telah menggilas ketika ia, tikus itu, bermaksud menyeberang jalan malam tadi. Pada kulitnya yang berwarna gelap keabu-abuan masih tampak bekas garis-garis hitam bunga ban motor. Dan sebelum bocah-bocah kecil penghuni perempatan metro tiba, sebuah mobil patroli pamong praja kembali menggilas tubuh sang tikus. Semakin terburailah usus-usus berwarna merah, sedang darah yang membeku karena dingin semalam menjadi cair kembali, muncrat ke sekeliling bangkai. Dan ternyata semakin riang bocah-bocah itu berlarian. “Hore..hore.. dagingnya tambah banyak!”. Bocah-bocah itu segera berebutan mendapatkan tikus yang kini menjadi potongan daging kecil-kecil. Mereka bergerak dengan cepat sekali, sehingga jalanan hanya sempat macet beberapa saat saja. Toh, polisi-polisi di pos perempatan masih disibukkan dengan kedatangan kenek truk barang. Sementara bocah-bocah, sebentar kemudian sudah tampak lahap memakan daging tikus yang mereka boyong ke taman di tengah awalan Jalan Sriwijaya.
Namun, di antara mereka ada satu bocah yang tampak enggan memakan daging yang berhasil ia raih. Ia hanya memegang erat daging yang masih basah oleh aliran merah darah dan sibuk berjalan ke sana kemari. “Kenapa kau tak segera memakannya?”, tegur bocah berkaus salah satu parpol sambil membersihkan sekitar mulutnya dari sisa-sisa makanan. Tak lupa ia lepaskan daging yang masih melilit di antara gigi-gigi kuningnya dan dengan sekali teguk, tandaslah sisa-sisa daging itu ke dalam kerongkongan untuk meluncur menuju lambung. “Tidak!”, jawab bocah itu, “Aku masih kenyang dengan makanan kemarin!”, dengan tenangnya bocah itu menyeberang jalan menuju tong sampah di pinggir trotoar. “Ah ini dia!” ucapnya dalam hati.
“Kalau begitu, buat kami saja!” bocah berambut merah ikut berbicara dengan berteriak. Tampaknya sedari tadi ia ikut mengamati pula. Bocah, di seberang jalan, yang baru saja meraih kantong plastik dan meloloskannya dari sampah-sampah yang ada di dalamnya diam sejenak. “Sebetulnya aku mau membawanya pulang, untuk emak..” teriaknya. “Tapi kalau kalian masih lapar, ya sudah. Ini! Tangkap!”, dengan ringan ia melemparkan daging berwarna merah darah dari genggaman tangannya melewati ruas jalan, di atas mobil-mobil dan bus kota yang berhenti karena lampu merah, yang derunya telah menenggelamkan suara anak-anak itu. Di taman seberang, bocah-bocah yang lain berteriak gembira. “Hore! Hore!”. Semua sibuk berebutan daging tikus di atas rumput-rumput taman. Lupa pada mobil, motor, juga layang-layang yang sudah diterbangkan angin entah ke mana.
***
Malampun tiba.
Semua bocah tampak duduk berjejer. Tidak pernah tahu dengan pasti, apakah mereka kekenyangan karena daging siang tadi, atau kelelahan akibat bermain seharian penuh. Mereka hanya duduk dengan kepala tegak dan mata memandang jauh melewati lampu-lampu kendaraan bermotor yang silih ganti berhenti berjalan. Sejauh-jauh mata memandang, tertatap pula pada mal ataupun pasaraya. Mereka hanya sekawanan kecil di ruas jalan yang besar.
“Akankah malam ini hujan?”, seorang bertanya.
“Aku mau bermain layang-layang lagi!”, seorang yang lain berkata.
“Mak, aku takut pulang. Malam bertambah gelap!”, bocah lainnya menggumam.
Mendung perlahan datang menyelimuti langit malam. Mungkin juga, menyelimuti bocah-bocah yang satu demi satu berbaring tidur di trotoar. Di pinggir jalan. Di perempatan metro. @
Semarang, 2007
“Meludahlah, Tuan, Nyonya, meludahlah!”, ujar mereka berulang kali.
“Bagaimana kalau kuberi saja kau lima ratus rupiah”, tawar seorang penumpang mobil merah.
Sang anak menjawab, “Tidak perlu, Tuan. Kami hanya perlu ludah tuan. Tak perlu uang. Meludahlah. Meludahlah di aspal yang kami pijak tanpa alas kaki!”.
“Lalu akan kau ke manakan air ludahku nanti?”, seorang ibu yang berada di taksi bertanya seolah perduli.
“Tak perlu kecewa, Bu. Ludah ibu akan kami rajut menjadi benang, untuk terbangkan layang-layang!”.
Ya, di perempatan metro, memang banyak anak-anak kecil yang suka bermain layang-layang. Namun siapa sangka bahwa benang yang mereka pakai untuk menerbangkan layang-layang itu berasal dari rajutan ludah para pengguna jalan. Ludah-ludah yang tergenang di atas aspal, entah bagaimana itu bisa terjadi, setelah mereka sentuh langsung berubah menjadi helaian tipis benang. Namun jangan berpikir itu semudah menginjak pedal gas ataupun rem, karena ternyata hanya anak-anak jalanan saja yang mampu merubahnya dalam wujud benang. Pernah mencoba seorang pengendara sepeda motor roda dua. Ia sentuh genangan ludah yang kebetulan terletak di sebelah kaki kirinya. Alih-alih mendapat segulung benang, justru tertawaan dari para pengendara lain yang ia dapatkan karena jari-jemari tangannya kini berlumuran air ludah.
“Ha.. ha.. dasar orang bodoh!”, kata pengemudi angkot.
“Ayo Tuan, meludah lagi! Ayo!”, suara seorang bocah menyemangati seorang baya kembali terdengar lantang memelas.
“Ya, ayo Tuan. Lagi! Lagi! Biar layang-layang kami tambah tinggi!”, seorang bocah perempuan yang lebih muda ikut memeriahkan suasana.
Sedangkan si pria yang berada di dalam mobil hitam ceper mengkilat kian bersemangat. Ia menurunkan kaca jendela, sehingga sebagian tubuhnya bisa menjulur keluar. Dan tanpa ampun, ia keluarkan ludahnya berulang kali, menerpa aspal yang memantulkan panas matahari. Bahkan ketika lampu merah telah berganti hijau ia masih meludah sambil jalankan mobilnya. Maka terbentuklah aliran ludah terpanjang, yang terbentang dari Jl. Sriwijaya hingga Lamper Sari. Anak-anak berteriak gembira.
Mereka berlari mengikuti aliran ludah tersebut. Namun, ketika tiba di tengah-tengah perempatan, seorang bocah berhenti sambil memandang ke arah utara Jalan MT Haryono. “Hey kawan-kawan, lihat! Kita dapat rejeki!”, bocah yang berkaos kuning tersebut berteriak. Dan sambil menunjuk aspalan tepat di depan toko listrik, ia melanjutkan teriakannya, “Lihat! Hari ini kita bisa makan daging!”. “Hore.. hore..!”, yang lain ikut berteriak gembira. Bergegas mereka bersama menuju ke sana, tak peduli lalu lalang mobil, motor, bus kota, apalagi truk barang yang kerap berhenti di depan pos polisi.
Di depan toko listrik itu, memang tergeletak sebuah daging. Tepatnya, sebuah tikus besar dengan isi tubuh terburai ke aspal. Sebuah motor telah menggilas ketika ia, tikus itu, bermaksud menyeberang jalan malam tadi. Pada kulitnya yang berwarna gelap keabu-abuan masih tampak bekas garis-garis hitam bunga ban motor. Dan sebelum bocah-bocah kecil penghuni perempatan metro tiba, sebuah mobil patroli pamong praja kembali menggilas tubuh sang tikus. Semakin terburailah usus-usus berwarna merah, sedang darah yang membeku karena dingin semalam menjadi cair kembali, muncrat ke sekeliling bangkai. Dan ternyata semakin riang bocah-bocah itu berlarian. “Hore..hore.. dagingnya tambah banyak!”. Bocah-bocah itu segera berebutan mendapatkan tikus yang kini menjadi potongan daging kecil-kecil. Mereka bergerak dengan cepat sekali, sehingga jalanan hanya sempat macet beberapa saat saja. Toh, polisi-polisi di pos perempatan masih disibukkan dengan kedatangan kenek truk barang. Sementara bocah-bocah, sebentar kemudian sudah tampak lahap memakan daging tikus yang mereka boyong ke taman di tengah awalan Jalan Sriwijaya.
Namun, di antara mereka ada satu bocah yang tampak enggan memakan daging yang berhasil ia raih. Ia hanya memegang erat daging yang masih basah oleh aliran merah darah dan sibuk berjalan ke sana kemari. “Kenapa kau tak segera memakannya?”, tegur bocah berkaus salah satu parpol sambil membersihkan sekitar mulutnya dari sisa-sisa makanan. Tak lupa ia lepaskan daging yang masih melilit di antara gigi-gigi kuningnya dan dengan sekali teguk, tandaslah sisa-sisa daging itu ke dalam kerongkongan untuk meluncur menuju lambung. “Tidak!”, jawab bocah itu, “Aku masih kenyang dengan makanan kemarin!”, dengan tenangnya bocah itu menyeberang jalan menuju tong sampah di pinggir trotoar. “Ah ini dia!” ucapnya dalam hati.
“Kalau begitu, buat kami saja!” bocah berambut merah ikut berbicara dengan berteriak. Tampaknya sedari tadi ia ikut mengamati pula. Bocah, di seberang jalan, yang baru saja meraih kantong plastik dan meloloskannya dari sampah-sampah yang ada di dalamnya diam sejenak. “Sebetulnya aku mau membawanya pulang, untuk emak..” teriaknya. “Tapi kalau kalian masih lapar, ya sudah. Ini! Tangkap!”, dengan ringan ia melemparkan daging berwarna merah darah dari genggaman tangannya melewati ruas jalan, di atas mobil-mobil dan bus kota yang berhenti karena lampu merah, yang derunya telah menenggelamkan suara anak-anak itu. Di taman seberang, bocah-bocah yang lain berteriak gembira. “Hore! Hore!”. Semua sibuk berebutan daging tikus di atas rumput-rumput taman. Lupa pada mobil, motor, juga layang-layang yang sudah diterbangkan angin entah ke mana.
***
Malampun tiba.
Semua bocah tampak duduk berjejer. Tidak pernah tahu dengan pasti, apakah mereka kekenyangan karena daging siang tadi, atau kelelahan akibat bermain seharian penuh. Mereka hanya duduk dengan kepala tegak dan mata memandang jauh melewati lampu-lampu kendaraan bermotor yang silih ganti berhenti berjalan. Sejauh-jauh mata memandang, tertatap pula pada mal ataupun pasaraya. Mereka hanya sekawanan kecil di ruas jalan yang besar.
“Akankah malam ini hujan?”, seorang bertanya.
“Aku mau bermain layang-layang lagi!”, seorang yang lain berkata.
“Mak, aku takut pulang. Malam bertambah gelap!”, bocah lainnya menggumam.
Mendung perlahan datang menyelimuti langit malam. Mungkin juga, menyelimuti bocah-bocah yang satu demi satu berbaring tidur di trotoar. Di pinggir jalan. Di perempatan metro. @
Semarang, 2007
Menelisik Batik Pekalongan
Slank benar, Kota Batik (memang) di Pekalongan. Bukan di kota lain. Banyak warga di sana yang kehidupannya bergantung pada kerajinan tersebut.Di beberapa desa, hampir setiap rumah membuka usaha batik. Sentra penjualan batik juga tersebar di beberapa tempat. Membatik seolah menjadi denyut nadi kota itu.Dan denyut itu tak pernah berhenti. Dari pagi hinggga malam, berlanjut hingga pagi kembali. Mulai dari menulis, cap, mewarnai, mengeringkan, hingga menjual. Bahkan, sebuah museum juga didirikan di tengah kota. Di sana, beragam koleksi serta data bisa dipelajari. Termasuk belajar membatik bagi yang ingin.Perajin Pekalongan juga mempunyai jasa yang cukup besar terhadap perkembangan batik di kota lain. Mereka kerap mengadakan workshop untuk perajin luar kota. Di situ, ilmu dan keterampilan yang dipunya dibagikan.Meski demikian, hendaknya jangan dilupa dampak yang timbul. Pencemaran air yang mengakibatkan sungai serupa pelangi harus dicegah. Kerusakan lingkungan yang bisa menimbulkan sakit bagi manusia sendiri sudah semestinya diakhiri. @
Jumat, 21 November 2008
Tuhan Jalan-jalan
Rabu, 19 November 2008
Miauw
Yah, ini cerita yang agak menyedihkan..
Tentang kucing di kontrakan (tapi bukan kucingku), tepatnya di kamarku.
Awal minggu ini, setelah balik dari Semarang tiba-tiba aku mendapati dua kucing di kamar kontrakan. Mereka dengan tenang tidur di rak buku pagi itu. Yang satu di bagian tengah, yang satunya di bagian bawah. Agaknya, mereka tertidur sedari malam.
Aku terus terang, ga begitu suka kucing. Tapi juga ga benci. Makanya, kubiarkan saja mereka di sana. Terus aku pergi ke tempat kerja.
Siangnya, pas balik lagi ke kamar, sekilas mereka telah tiada. Tapi sesaat setelah rehat sejenak di kursi, sayup-sayup (wuih kayak sastrawan ga sih) terdengar suara. "Miauw..miauw..," begitulah bunyinya.
Sumber bunyi, sepertinya dari rak buku. Segera saja aku liatin itu rak. Dan, apa yang terjadi?
Tak kuduga. Kalo tadi ada dua kucing besar, sekarang yang ada justru dua kucing kecil. Item-item lagi.
Kucingnya mengecil?
Ha.. Gak lah.. Ternyata salah satu kucing besar itu melahirkan dua kucing kecil. Di kamarku! Ceceran darah di lantai masih membekas.
Baru sekali ini aku berhadapan dengan situasi seperti itu (ha.ha.. segitunya..). Bingung, kutelpon bapak aku. Dia bilang, pindahin aja. Tapi jangan di tempat terbuka, ntar kedinginan.
OK lah. Aku turuti saran itu. Dua kucing itu aku taruh di kardus beralas kain. Terus kupindahkan mereka di garasi.
Malamnya, satu kucing besar (mungkin ibunya) datang ke kamarku (nyelonong aja ni). Dia mengeong, seperti mencari anaknya. Aku bilang, tu dah di garasi. Seolah memahami, sang ibu itu langsung berjalan ke garasi.
Aku pikir, masalah selesai..
Sampai esoknya, kucing itu lagi-lagi nyelonong ke kamarku. Dia melongok ke rak buku, trus jalan keliling kamar sebentar, trus akhirnya keluar. Tepat di depan pintu, ibu kucing berhenti. Ngeong lagi beberapa kali. Lalu jalan ke garasi, Ngeong lagi. Beberapa kali.
Ternyata, anaknya hilang.
Ya, penasaran mengapa dia cerewet terus malam itu. Aku coba nyusul dia di garasi. Ternyata, kucing-kucing kecil yang tadinya ada di sana sekarang ga ada.
Jadilah, aku hidup dengan penyesalan. Sampe tulisan ini dibuat, ibu kucing yang besar itu masih selalu menghampiri kamarku. Ngeong beberapa kali mencari anaknya. Terus berjalan ke garasi. Ngeong lagi berkali-kali. Berulang-ulang..
Maap ya kucing.. @
November
NB: Belakangan diketahui, kucing kecil yang baru lahir dipindahin temen kontrakanku ke tempat lain. He.. Kasihan ibu kucing.. Coba cari di tempat lain ya.. Temenku sendiri bilangnya diletakkan di depan rumah.
Tentang kucing di kontrakan (tapi bukan kucingku), tepatnya di kamarku.
Awal minggu ini, setelah balik dari Semarang tiba-tiba aku mendapati dua kucing di kamar kontrakan. Mereka dengan tenang tidur di rak buku pagi itu. Yang satu di bagian tengah, yang satunya di bagian bawah. Agaknya, mereka tertidur sedari malam.
Aku terus terang, ga begitu suka kucing. Tapi juga ga benci. Makanya, kubiarkan saja mereka di sana. Terus aku pergi ke tempat kerja.
Siangnya, pas balik lagi ke kamar, sekilas mereka telah tiada. Tapi sesaat setelah rehat sejenak di kursi, sayup-sayup (wuih kayak sastrawan ga sih) terdengar suara. "Miauw..miauw..," begitulah bunyinya.
Sumber bunyi, sepertinya dari rak buku. Segera saja aku liatin itu rak. Dan, apa yang terjadi?
Tak kuduga. Kalo tadi ada dua kucing besar, sekarang yang ada justru dua kucing kecil. Item-item lagi.
Kucingnya mengecil?
Ha.. Gak lah.. Ternyata salah satu kucing besar itu melahirkan dua kucing kecil. Di kamarku! Ceceran darah di lantai masih membekas.
Baru sekali ini aku berhadapan dengan situasi seperti itu (ha.ha.. segitunya..). Bingung, kutelpon bapak aku. Dia bilang, pindahin aja. Tapi jangan di tempat terbuka, ntar kedinginan.
OK lah. Aku turuti saran itu. Dua kucing itu aku taruh di kardus beralas kain. Terus kupindahkan mereka di garasi.
Malamnya, satu kucing besar (mungkin ibunya) datang ke kamarku (nyelonong aja ni). Dia mengeong, seperti mencari anaknya. Aku bilang, tu dah di garasi. Seolah memahami, sang ibu itu langsung berjalan ke garasi.
Aku pikir, masalah selesai..
Sampai esoknya, kucing itu lagi-lagi nyelonong ke kamarku. Dia melongok ke rak buku, trus jalan keliling kamar sebentar, trus akhirnya keluar. Tepat di depan pintu, ibu kucing berhenti. Ngeong lagi beberapa kali. Lalu jalan ke garasi, Ngeong lagi. Beberapa kali.
Ternyata, anaknya hilang.
Ya, penasaran mengapa dia cerewet terus malam itu. Aku coba nyusul dia di garasi. Ternyata, kucing-kucing kecil yang tadinya ada di sana sekarang ga ada.
Jadilah, aku hidup dengan penyesalan. Sampe tulisan ini dibuat, ibu kucing yang besar itu masih selalu menghampiri kamarku. Ngeong beberapa kali mencari anaknya. Terus berjalan ke garasi. Ngeong lagi berkali-kali. Berulang-ulang..
Maap ya kucing.. @
November
NB: Belakangan diketahui, kucing kecil yang baru lahir dipindahin temen kontrakanku ke tempat lain. He.. Kasihan ibu kucing.. Coba cari di tempat lain ya.. Temenku sendiri bilangnya diletakkan di depan rumah.
Sabtu, 15 November 2008
Oleh-oleh dari Solo
Beberapa waktu lalu, Solo ketempatan WHCC (singkatannya cari sendiri aja ya..). Kebetulan saya di sana.
Nah, berikut beberapa fotonya. Enjoy!
Nah, berikut beberapa fotonya. Enjoy!
- Workshop ibu dan anak
- Wow!
- (Katanya) Putri Indonesia
(Terus terang saya ga tahu. Jadi maaf kalo ternyata beneran..)
- Haus ya, Bang!
PS: Sorry guys, aku bolos terus ya..
Rabu, 12 November 2008
Puisi Tak
Kopi Muria
JARANG orang membicarakan kopi dari Gunung Muria. Padahal puluhan hektar kebunnya ada di beberapa desa lereng gunung itu seperti Colo dan Japan. Masyarakat di Kudus lebih sering menyebut kopi dari daerah lain, seperti Jetak, Kecamatan Kaliwungu misalnya.
Kenikmatan kopi Muria tak jauh dibanding dengan yang lain. Setidaknya, itulah kata Muhdi Asnawi (40), pengusaha kopi asal Desa Padurenan, Kecamatan Gebog. Sepuluh tahun sudah dia menekuni usaha kopi dengan bahan mentah dari Colo.
"Awalnya coba-coba saja. Saya dengar kopi muria digemari orang-orang. Maka saya coba ambil dan mengolah di rumah," jelas Muhdi saat ditemui di kediamannya kemarin.
Menurutnya, masa panen kopi berlangsung Agustus-November. Pada masa itu, dia biasa berburu ke Colo. Berkilo kopi biasa dia borong. Meski demikian, kopi tersebut tidak langsung diolah.
"Seperti tembakau, kopi juga sebaiknya ditimbun dulu. Kurang lebih satu hingga dua tahun agar rasanya lebih mantap," ujarnya.
Selain itu, dia mengaku mengolah kopi dengan bahan bakar kayu. Pilihan itu menurutnya juga memengaruhi rasa kopi itu nanti.Setelah diolah dia memasarkannya ke beberapa tempat. Pada awalnya, Muhdi mengaku kesulitan mendapatkan tempat. Namun, perlahan-lahan kopinya mulai disukai. Hampir semua warung di kecamatan tempat dia tinggal memakai kopi hasil olahannya.Meski demikian, tak banyak yang tahu bahwa kopinya berasal dari Muria. Orang-orang lebih sering menyebut kopi Muhdi.
"Memang dalam pemasaran saya tak memakai merk khusus. Saya biarkan polos aja. Kalau orang lain mau mengemas ulang silakan," tambahnya.
Bahkan, dia mengatakan ada pedagang kopi Jetak yang memakai kopinya. Hanya saja, dalam pemasarannya dia menggunakan nama kopi Jetak.Saat ini, Muhdi telah mempunyai empat pekerja. Dalam sebulan, omzetnya mencapai jutaan rupiah. Meski demikian, Muhdi masih berharap agar harga kopi bisa diturunkan."Saat ini harga kopi masih terhitung mahal. Satu kilogramnya hampir mencapai Rp 20.000. Kalau bisa turun, saya yakin usaha saya bisa lebih berkembang," harapnya.
Akhir Oktober lalu, dia memamerkan produknya di lapangan desa bersama hasil industri kecil lainnya asli Padurenan. Hampir semua orang yang sempat mencicipi kopi Muria mengakui rasanya tak kalah nikmat dibanding kopi bermerk lainnya. @
Kenikmatan kopi Muria tak jauh dibanding dengan yang lain. Setidaknya, itulah kata Muhdi Asnawi (40), pengusaha kopi asal Desa Padurenan, Kecamatan Gebog. Sepuluh tahun sudah dia menekuni usaha kopi dengan bahan mentah dari Colo.
"Awalnya coba-coba saja. Saya dengar kopi muria digemari orang-orang. Maka saya coba ambil dan mengolah di rumah," jelas Muhdi saat ditemui di kediamannya kemarin.
Menurutnya, masa panen kopi berlangsung Agustus-November. Pada masa itu, dia biasa berburu ke Colo. Berkilo kopi biasa dia borong. Meski demikian, kopi tersebut tidak langsung diolah.
"Seperti tembakau, kopi juga sebaiknya ditimbun dulu. Kurang lebih satu hingga dua tahun agar rasanya lebih mantap," ujarnya.
Selain itu, dia mengaku mengolah kopi dengan bahan bakar kayu. Pilihan itu menurutnya juga memengaruhi rasa kopi itu nanti.Setelah diolah dia memasarkannya ke beberapa tempat. Pada awalnya, Muhdi mengaku kesulitan mendapatkan tempat. Namun, perlahan-lahan kopinya mulai disukai. Hampir semua warung di kecamatan tempat dia tinggal memakai kopi hasil olahannya.Meski demikian, tak banyak yang tahu bahwa kopinya berasal dari Muria. Orang-orang lebih sering menyebut kopi Muhdi.
"Memang dalam pemasaran saya tak memakai merk khusus. Saya biarkan polos aja. Kalau orang lain mau mengemas ulang silakan," tambahnya.
Bahkan, dia mengatakan ada pedagang kopi Jetak yang memakai kopinya. Hanya saja, dalam pemasarannya dia menggunakan nama kopi Jetak.Saat ini, Muhdi telah mempunyai empat pekerja. Dalam sebulan, omzetnya mencapai jutaan rupiah. Meski demikian, Muhdi masih berharap agar harga kopi bisa diturunkan."Saat ini harga kopi masih terhitung mahal. Satu kilogramnya hampir mencapai Rp 20.000. Kalau bisa turun, saya yakin usaha saya bisa lebih berkembang," harapnya.
Akhir Oktober lalu, dia memamerkan produknya di lapangan desa bersama hasil industri kecil lainnya asli Padurenan. Hampir semua orang yang sempat mencicipi kopi Muria mengakui rasanya tak kalah nikmat dibanding kopi bermerk lainnya. @
Selasa, 11 November 2008
Tukang Sihir
Tetangga rumah yang pertama kali memberitahu. Dia mengaku tahu silsilah keluarga istriku. Mereka yang di ujung barat kota telah dikenal sebagai penyihir selama belasan tahun.
Dulu mereka biasa berpesta di malam purnama. Konon, siapa saja yang lewat di depan rumah saat berpesta pasti akan lenyap. Banyak keluarga sudah yang melaporkan kehilangan anggotanya. Tapi tak ada bukti yang mengarah pada keluarga itu.
Selengkapnya tentang tukang sihir
Langganan:
Postingan (Atom)